Iklan
Iklan

Sering Terlibat Konflik, Pilkada Serentak 2024 Diusulkan Hanya Memilih Kepala Daerah Tanpa Wakil

- Advertisement -
Sering terlibat konflik antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maka pemerintah diharapkan membuat kebijakan baru terkait Pilkada Serentak 2024. Hal ini diungkapkan oleh Pakar Otonomi Daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan.

Prof Djo sapaan akrabnya mengatakan, keberadaan wakil kepala pemerintahan bisa jadi persoalan jika salah membuat formula kebijakan. Menurutnya, banyak sekali contoh kasus baik di tingkat nasional maupun lokal di mana antara wakil dan kepala daerah tidak akur, bahkan terlibat konflik.

Karena sering terlibat konflik, bisa low sampai high intensity. Perang tertutup hingga terbuka ke ranah publik. Wakil menerbitkan SK mutasi pejabat ASN yang bukan kewenangannya ketika kepala daerah lagi cuti.

“Adu mulut hingga adu jotos. Saling lapor ke polisi. Birokrasi terjepit pada posisi sulit. Rakyat yang sudah capek memilih mereka tidak bisa bikin apa-apa selain rasa kecewa. Ujung dari konflik, mereka berlaga di pilkada,” ujar Prof Djo, Jumat (10/9/20210).

Apabila wakil menang dalam pilkada atau wakil naik menggantikan kepala daerah karena sang kepala wafat atau di-OTT KPK, maka orang-orang kepala daerah sebelumnya dicopot dari jabatan alias dinon-jobkan.

Dirjen Otda kemendagri 2010-2014 itu menegaskan, desain pemilihan berpasangan yang ada sekarang salah kaprah. Konstitusi UUD 45, pasal 18 ayat (4) menyebutkan yang dipilih secara demokratis hanya gubernur, bupati dan wali kota.

Kata wakil itu menurut Prof Djo tidak ada. Apalagi sistem kepartaian kita masih bercorak multi partai, sehingga kepala dan wakil biasanya berasal dari partai yang berbeda. Potensi konflik sangat terbuka.

“Lebih dari pada itu, desain dipilih berpasangan, menyimpangi kodrat wakil yang notabene pembantu kepala. Disuruh dia pergi. Dilarang dia berhenti. Wakil berfungsi sebagai “ban serep”, bila kepala berhalangan dia menjadi pengganti,” ujar Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.

Tujuan diadakan jabatan wakil di samping untuk mencegah vacuum of power, dia membantu memperkuat kepala agar lebih mudah dan lancar melaksanakan tugas. Dia juga menjadi mitra, teman sejati yang ikhlas berkorban demi kepala daerah dengan loyalitas penuh.

Dia juga mengaku wakil pantang berkianat. Pepat di luar pancung di dalam. Menggunting dalam lipatan. Berdoa yang buruk-buruk untuk sang kepala. Tidak boleh sampai ada rasa sang kepala daerah “sleeping with the enemy”.

“Wakil harus orang yang sudah dikenal baik luar dan dalam oleh kepala. Bukan yang dijodoh-jodohkan mendadak. Apa lagi dikawin paksa jelang mendaftarkan pencalonan ke KPU,” jelas Presiden i-Otda (institut Otonomi Daerah) ini.

Prof Djo juga menjelaskan, dalam budaya politik dikenal pula kearifan lokal, yaitu tidak boleh ada matahari kembar atau tidak boleh ada dua orang nakhoda di dalam satu kapal. Data kemendagri (2014) menunjukkan bukti bahwa sekitar 95 % wakil dan kepala daerah pecah kongsi atau terlibat konflik.

“Mengingat banyaknya mudharat wakil yang dipilih berpasangan dengan kepala daerah dalam pilkada, maka sebaiknya kita mengadopsi saja cara pemilihan mono-executive (tunggal) seperti yang diterapkan dibanyak pemerintahan daerah di dunia,” ujarnya.

Rakyat menurut Prof Djo, hanya memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Wakil nanti diangkat oleh kepala daerah terpilih dari ASN dan/atau non-ASN yang jumlahnya bisa satu, dua atau lebih sesuai dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.

Namun, mereka tidak bisa menggantikan kepala bila yang bersangkutan berhalangan tetap. Pengisian kepala daerah bila ada kasus seperti itu dilakukan melalui DPRD.

“Seyogyanya aturan itu dituangkan di dalam UU Pilkada kita sebelum pilkada serentak nasional 2024 digelar,” pungkasnya.

Trending Topic

Subscribe
Notify of

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Iklan

Iklan

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA