Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik telah mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pasal yang diajukan untuk diuji materi yakni Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) dan ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5).
Permohonan Pengujian Undang-undang (PUU) ini terdiri dari 82 halaman dan disertai 73 alat bukti pendukung. Permohonan diajukan pada Rabu (23/6/2021).
“Pada pokoknya PUU ini terkait ketentuan Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa ‘Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat’,” ungkap kuasa hukum pemohon, Fauzi Heri, Rabu (23/6/2021).
“Para pemohon juga meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir atas frasa ‘putusan’ DKPP dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sebagai sebuah keputusan,” imbuhnya.
Fauzi mengatakan, norma yang ada dalam Pasal tersebut merugikan hak konstitusional kliennya. Selain itu, juga telah merenggut hak asasi manusia kliennya yang dilindungi oleh konstitusi.
“Keberadaan Pasal yang sampai saat ini masih menjadi dalil DKPP atau setidaknya oleh sejumlah anggota DKPP itu ternyata dipergunakan untuk tidak mengakui Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU yang sah meskipun telah ada putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Keppres tindak lanjut atas putusan DKPP,” jelas Fauzi.
Ia mengatakan, kerugian konstitusional juga dialami oleh Arief Budiman yang dipecat sebagai Ketua KPU oleh DKPP karena dinilai melanggar etika dalam mendampingi Evi yang berjuang di PTUN Jakarta.
“Oleh karena itu, para pemohon mengajukan batu uji permohonan PUU ini yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 28J Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” jelas Fauzi.
Ia menuturkan pengujian atas norma putusan DKPP yang final dan mengikat sudah pernah dilakukan uji materi sebelumnya sebagaimana putusan MK Nomor: 31/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014. Dalam putusan a quo, MK menyatakan bahwa sifat final dan mengikat atas putusan DKPP tidak sama dengan lembaga peradilan, tetapi harus dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.
Selain perbedaan alasan konstitusional dan batu uji, permohonan terdahulu adalah permohonan terhadap UU Nomor 15 Tahun 2011. Fauzi menilai para pemohon menyampaikan norma hukum baru yaitu diundangkannya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada 17 Oktober 2014.
“Norma hukum baru itu berupa adanya frasa ‘final dalam arti luas’ atas keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 87 huruf d UU 30 Tahun 2014 yang diterjemahkan oleh MA dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 yang mendefinisikan ‘final dalam arti luas’ sebagai keputusan yang sudah menimbulkan akibat hukum,” pungkasnya.