Sejumlah uang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat penggeledahan di rumah Sekretaris Daerah Hulu Sungai Utara Muhammad Taufik, Jumat (19/11/2021).
Penggeledahan rumah Sekda tersebut merupakan bagian penyidikan kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU Tahun 2021-2022 dengan tersangka Bupati HSU Abdul Wahid (AW).
Sedangkan, Muhammad Taufik merupakan adik kandung dari Abdul Wahid. “Tim penyidik pada Jumat (19/11/2021) telah selesai melaksanakan upaya paksa penggeledahan di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yaitu tempat kediaman Sekda Kabupaten HSU di Kelurahan Paliwara Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara,” ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (22/11/2021).
Dari rumah Sekda ini, KPK menemukan dan mengamankan bukti antara lain berupa sejumlah uang, berbagai dokumen, dan alat elektronik yang diduga kuat terkait dengan perkara.
“Analisa lanjutan akan dilakukan oleh tim penyidik dan nantinya segera dilakukan penyitaan untuk melengkapi berkas perkara tersangka AW,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK telah mengumumkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pada 18 November 2021.
Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki selaku pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan tersangka Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara untuk dua periode (2012-2017 dan 2017-2022) pada awal 2019 menunjuk Maliki sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara
Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka Abdul Wahid. Penerimaan uang oleh tersangka Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan tersangka Abdul Wahid.
Pada sekitar awal 2021, Maliki menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas jabatan bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara Tahun 2021.
Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek tersebut.
Selanjutnya, tersangka Abdul Wahid menyetujui paket plotting tersebut dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10 persen untuk tersangka Abdul Wahid dan 5 persen untuk Maliki.
Adapun, pemberian komitmen fee yang diduga diterima oleh tersangka Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, tersangka Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp 4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp 12 miliar, dan pada 2021 sekitar Rp 1,8 miliar.
Penggeledahan rumah Sekda tersebut merupakan bagian penyidikan kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU Tahun 2021-2022 dengan tersangka Bupati HSU Abdul Wahid (AW).
Sedangkan, Muhammad Taufik merupakan adik kandung dari Abdul Wahid. “Tim penyidik pada Jumat (19/11/2021) telah selesai melaksanakan upaya paksa penggeledahan di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yaitu tempat kediaman Sekda Kabupaten HSU di Kelurahan Paliwara Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara,” ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (22/11/2021).
Dari rumah Sekda ini, KPK menemukan dan mengamankan bukti antara lain berupa sejumlah uang, berbagai dokumen, dan alat elektronik yang diduga kuat terkait dengan perkara.
“Analisa lanjutan akan dilakukan oleh tim penyidik dan nantinya segera dilakukan penyitaan untuk melengkapi berkas perkara tersangka AW,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK telah mengumumkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pada 18 November 2021.
Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki selaku pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan tersangka Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara untuk dua periode (2012-2017 dan 2017-2022) pada awal 2019 menunjuk Maliki sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara
Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka Abdul Wahid. Penerimaan uang oleh tersangka Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan tersangka Abdul Wahid.
Pada sekitar awal 2021, Maliki menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas jabatan bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara Tahun 2021.
Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek tersebut.
Selanjutnya, tersangka Abdul Wahid menyetujui paket plotting tersebut dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10 persen untuk tersangka Abdul Wahid dan 5 persen untuk Maliki.
Adapun, pemberian komitmen fee yang diduga diterima oleh tersangka Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, tersangka Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp 4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp 12 miliar, dan pada 2021 sekitar Rp 1,8 miliar.