Bisnis produk Tupperware kini berada di ambang kebangkrutan. Sebelumnya produk rumah tangga ini dikenal luas sebagai ‘rajanya’ wadah plastik penyimpan makanan.
Bisnis produk tupperware sudah dikenal luas. Perusahaan berbasis Amerika Serikat yang sudah berusia 77 tahun itu mulai melihat timbulnya retakan dalam model bisnis revolusionernya.
Kini kondisi bisnis tupperware mengalami pasang surut. Utang yang kian menumpuk serta penjualannya yang merosot membuat manufaktur wadah kedap udara itu terancam bangkrut jika tidak ada investor yang mendanai.
Walaupun perusahaan itu sudah berupaya untuk memasarkan produknya dengan gaya baru kepada generasi-generasi muda, penjualannya tetap tidak bisa didongkrak.
Perusahaan wadah plastik itu terkenal dengan strategi pemasaran mereka yang ikonik pada era 1950-an sampai 1960-an, yakni mengajak ibu-ibu rumah tangga mengadakan “pesta Tupperware“ untuk memamerkan -sekaligus menjual- produk-produk plastik itu kepada tetangga dan teman-teman mereka.
Namun, model bisnis inti dari Tupperware yang memperkerjakan wiraswasta lepas guna menjual produk dari rumah mereka sendiri, telah lama ketinggalan zaman. Bahkan, taktik itu sudah ditinggalkan total di Inggris sejak 2003.
Kini, petinggi-petinggi perusahaan mengakui bahwa, tanpa pendanaan baru, merek yang namanya sudah menjadi sebutan tersendiri itu bisa saja hilang total.
“Kita menggunakan itu [Tupperware] sebagai kata benda, yang cukup unik bagi sebuah merek,“ kata Catherine Shuttleworth, pencetus perusahaan analisa sektor ritel, yakni Savvy Marketing.
“Saya pikir banyak orang muda akan kaget jika tahu itu adalah nama merek.“
Meskipun Tupperware disebut sebagai “produk mukjizat“ pada awal peluncurannya beberapa dekade yang lalu, Shuttleworth menambahkan sekarang pasar itu dipenuhi dengan perusahaan-perusahaan yang menawarkan alternatif yang lebih murah dalam beberapa tahun terakhir.
Penjualan Tupperware sempat meningkat tajam di kala pandemi Covid-19, dengan kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk memasak dan menyimpan makanan di rumah.
Tetapi, peningkatan itu ternyata hanya bersifat sementara.
Penjualan sudah semakin menurun sejak itu, terutama karena perusahaan itu “kurang inovatif“ dalam 10 sampai 20 tahun terakhir. Sehingga, mereka kalah dengan kompetitor-kompetitor, ungkap Shuttleworth.
Perusahaan itu telah berusaha untuk membuat strateginya lebih beragam, termasuk dengan menjual produknya di perusahaan ritel AS, Target, dan perusahaan serupa lainnya di seluruh dunia. Mereka juga mengembangkan produknya dengan memproduksi jenis alat masak lainnya.
Namun kini, para petinggi Tupperware tak ada waktu lagi untuk memikirkan apa yang mungkin terjadi. Sebab, perusahaan terancam bangkrut jika tidak ada suntikan dana cepat.
Saunders mengatakan masih ada harapan. Dengan nama merek yang seterkenal Tupperware, tetap ada peluang perusahaan ritel raksasa seperti Walmart atau bahkan Amazon datang untuk menyelamatkannya.
Saham Tupperware melantai pada Senin (10/4). Meski sempat naik sedikit pada Selasa (11/4), muncul kekhawatiran bahwa tanpa dukungan finansial baru yang signifikan, lampu-lampu di pesta Tupperware bisa saja padam selamanya.