Bupati Bogor Ade Yasin telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka suap. Bupati Bogor ini Bersama anak buahnya diduga menyuap pegawai Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Perwakilan Jawa Barat agar bisa mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian dalam audit.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan penangkapan Bupati Bogor ini merupakan tindak lanjut laporan masyarakat ihwal dugaan adanya pemberian uang dari Bupati Bogor melalui orang kepercayaannya kepada anggota tim audit BPK Perwakilan Jawa Barat. Tim KPK lalu bergerak untuk menangkap mereka yang diduga terlibat.
Pada Selasa pagi, 26 April 2022, tim KPK menuju ke salah satu hotel di Bogor untuk menciduk penerima suap. Namun ternyata mereka pulang ke Bandung, Jawa Barat, setelah menerima uang.
“Sehingga KPK membagi dua tim di mana satu tim, di antaranya bergerak menuju Bandung untuk menangkap para pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat beserta barang bukti uang yang ada padanya,” ujar Firli, Kamis, 28 April 2022.
Tim menangkap empat pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat yang saat itu sedang berada kediamannya masing-masing di Bandung pada Selasa malam, 26 April 2022. Pada saat itu juga mereka dibawa tim KPK menuju gedung Merah Putih KPK di Jakarta.
Bersamaan dengan penangkapan di Bandung, pada Rabu pagi, 27 April 2022, tim KPK lain menangkap Bupati Bogor di rumahnya, dan pejabat ASN Pemkab Bogor di rumah tempat tinggal masing-masing di Cibinong, Kabupaten Bogor. Mereka juga dibawa KPK ke Jakarta.
Dalam tangkap tangan ini KPK menyita bukti uang dalam pecahan rupiah dengan total Rp1,024 miliar, yang terdiri dari uang tunai sebesar Rp570 juta dan uang yang ada pada rekening bank dengan jumlah sekitar Rp454 juta.
Setelah pengumpulan berbagai informasi dan data terkait dugaan tindak pidana korupsi itu, KPK selanjutnya melakukan penyelidikan dan menemukan bukti permulaan yang cukup, yang kemudian meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka. Dari 12 yang ditangkap, KPK menetapkan delapan tersangka, termasuk Ade Yasin selaku pemberi suap.
“AY selaku Bupati Kabupaten Bogor periode 2018 sampai dengan 2023 berkeinginan agar Pemerintah Kabupaten Bogor kembali mendapatkan predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) untuk TA 2021 dari BPK Perwakilan Jawa Barat,” kata Firli.
“Sehingga AY dibantu tiga pejabat ASN Pemkab Bogor menyuap empat pegawai BPK,” imbuhnya.
Namun, ada temuan fakta Tim Audit di Dinas PUPR, salah satunya pekerjaan proyek peningkatan jalan Kandang Roda-Pakan Sari dengan nilai proyek Rp 94,6 miliar yang pelaksanaannya diduga tidak sesuai dengan kontrak.
Adapun empat tersangka pemberi suap di antaranya: Ade Yasin, Bupati Bogor periode 2018-2023; MA Sekdis Dinas PUPR Kabupaten Bogor; IA, Kasubid Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor; dan RT, PPK pada Dinas PUPR Kabupaten Bogor.
Sedangkan tersangka penerima suap adalah ATM yang merupakan pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat menjabat Kasub Auditorat Jabar III/Pengendali Teknis; AM, pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat / Ketua Tim Audit Interim Kabupaten Bogor; HNRK, pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Pemeriksa; dan GGTR, pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Pemeriksa.
Pemberi suap, yakni Ade Yasin, MA, IA, RT disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan, penerima suap, yakni ATM, AM, HNRK, GGTR disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Ade Yasin menjadi Bupati Bogor kedua yang ditangkap KPK. Pada 2014, KPK juga pernah menangkap Rachmat Yasin yang tak lain merupakan kakak kandung Ade. Rachmat terjerat kasus korupsi pengadaan lahan saat itu dan menjalani hukuman lima tahun penjara. Sepekan setelah keluar, pada 2019, Rachmat kembali diciduk KPK. Kali ini dia disebut terlibat kasus gratifikasi sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor.