Solidaritas Pekerja Musik Indonesia (SPMI), terus berjuang agar para pekerja musik di Indonesia memiliki standarisasi saat berkarya.
Menurut Ketua Umum SPMI Jatmiko, SPMI dibentuk karena kondisi pandemi yang membuat pekerja seni kehilangan pekerjaannya.
“Tujuan awalnya SPMI tadinya kita mau membentuk asosiasi ini, organisasi ini untuk sama-sama menyatukan suara hati kita sebagai musisi, dari tahun 90 an dulu sudah ingin membentuk organisasi ini hanya karena belum terealisasi, baru kali ini kita benar-benar sudah terdaftar di Kemenkumham untuk organisasi kita.”kata Jatmiko saat ditemui di kantor Deteksi, Jakarta Selatan, Sabtu (29/1/22).
“SPMI pas berdirinya Pandemi ini kita bersatu dan bareng-bareng gimana kita kedepannya musisi, nasib kita seperti ini. Akhirnya ya pertama minta standarisasi, banyaknya musisi yang tidak dihargai dalam tanda kutip, baik secara hukum maupun misalnya begini outlet kamu mau ngak di bayar segini, oh ngak saya punya standar. Ada yang salah satu mahal perform di outlet dengan 500 ribu misalnya. Ternyata ada orang yang mau di bayar 50 puluh ribu, ya sudah gw pake musisi ini aja hanya 50 puluh ribu. Sementara kualitas berbeda sangat jauh berbeda itu salah satu contohnya.”ungkap Jatmiko.
“Kenapa sih kita ngak punya standar, saya sempat ketemu dengan Dirjen Kementrian Tenaga Kerja mau di taruh dimana nih para pekerja seni paruh ruang, loe harus punya pilihan mereka bilang kita mau kalau kalian bahwa kementrian tenaga kerja dari segi nama pun kita harus merubah menjadi Serikat dan saya tidak berminat. Mas Candra Darusman pun mau membantu kita bahwa mas seperti ini keadaannya teman-teman dari birokrasinya teman-teman di Kementrian Tenaga Kerja seperti ini, tapi mohon maaf juga bahwa kita tidak minta UMR tapi kita setidaknya intinya bisa bekerjasama dengan PHRI kepada outlet-outlet yang ada hotel resto bahwa ehhh gw minta tolong dong bisa ngak sih kita punya standarisasi anak band, karena kita kan punya skill,talenta, punya kemampuan untuk bisa menjalankan rodanya si hotel,resto&cafe nya tersebut bagian dari mereka kita juga jangan terlalu di lecehkan sebagai musisi seperti itu.”jelas Jatmiko.
Selain untuk menyuarakan keberadaan musisi dengan standarisasi yang layak dan aspek lainnya, SPMI juga membangkitkan rasa kebersamaan dan kepedulian.
Salah satu contohnya pada kejadian yang telah di alami 6 musisi yang sedang berkarya di sebuah klub yang meninggal akibat jadi korban kebakaran di Sorong, Papua beberapa waktu lalu.
“Kejadian kawan – kawan musisi yang jadi korban di Sorong Papua jadi salah satu pemicu kami untuk mengelar malam dana bagi mereka yang meninggal secara streaming, mudah – mudahan dalam waktu dekat bisa kami releasasikan,”kata Jatmiko.
Menurut Promotor sekaligus pengamat musik, Harry Koko keberadaan SPMI itu dari Sabang sampai Merauke karena memang menjadi bagian dari semangat pekerja musik di Indonesia.
“Menurut saya keberadaan SPMI ini betul-betul dari Sabang sampai Merauke, ok saya terus mengikuti perkembangan karena memang menjadi bagian dari semangat kita pekerja musik di Indonesia.”
Mengenai kejadian yang menimpa 6 musisi di Sorong, Harry ‘Koko’ Santoso mengatakan bahwa sebuah kejadian yang membuat semua prihatin dan peduli atas kejadian tersebut sehingga butuh gerakan untuk membantu untuk keluarga yang ditinggalkan.
“Nah kejadian yang terjadi di Papua tentu kita semua prihatin dan tentu juga kita semua peduli bentuk keprihatinannya adalah di masa Pandemi dimasa sulit ini ada musibah kejadian 4 hari yang lalu tentu membuat kita bersedih. Tetapi juga kepedulian itu harus terus dikembangkan oleh teman-teman SPMI, kenapa karena kita tidak bisa lihat kebelakang lagi. Ada musibah sudah saatnya hal-hal seperti ini kita langsung bergerak, tadi kita juga sarankan kepada ketua Umum SPMI alangkah eloknya apabila kita fokus kepada semua pada enam keluarga karena keluarga ini mereka bukan musisi, bukan seniman. Seperti Miko sampaikan bagian dari tanggung jawab kehidupannya sama entah itu istrinya, anaknya, kakaknya, sepupunya ataupun sahabatnya.”kata Harry ‘Koko’ Santoso
“Bagaimana kedepannya lihat belakang lagi ada pemerintah daerah, Kepolisian bahkan ada Presiden RI sangat peduli. Akan tetapi satu, dua hari kedepan seterusnya ada orang-orang yang ditinggalkan, kejadian ini semoga bisa jadi contoh kedepan bahwa kepedulian dalam keadaan sulit tetap harus jalan. Kita langsung bergerak mudah-mudahan dalam satu Minggu ini teman-teman SPMI ini bisa langsung membuat sebuah kegiatan yang bentuknya kepedulian yang betul-betul fokus, ini bukan hanya untuk SPMI tapi juga bagian semangat musisi di Indonesia,harapan saya itu.’Kata Harry Koko.
Harry Koko juga menambahkan bahwa musik bagian dari pondasi di negeri ini yang menjaga ketahanan budaya, kedepannya bagian dari ketahanan ekonomi.
“Yukk kita sama-sama bukan hanya SPMI bukan hanya kita yang pekerja musik, bukannya media tapi semua yukk kita bergerak jangan menunggu lagi kejadian-kejadian seperti kemarin besok ini kita harus berbuat.”tutup Harry’Koko’Santoso. (EH).