Jakarta, Indek News – Suara-suara desakan agar para aktivis yang ditangkap dalam demonstrasi akhir Agustus lalu segera dibebaskan semakin keras terdengar. Dari kalangan masyarakat sipil, hingga sosok nasional sekelas Ibu Negara ke-4, Sinta Nuriyah Wahid, semua menuntut hal yang sama, kebebasan bagi para aktivis.
Tekanan moral ini bukan datang sekali dua kali. Koalisi masyarakat sipil berulang kali mendesak Kapolri untuk segera mengambil langkah humanis dengan melepaskan mereka. Namun, waktu terus berjalan, dan para aktivis itu masih berada di balik jeruji.
Pernyataan Sinta Nuriyah Wahid menambah bobot moral dari isu ini. Ia tidak sekadar mendukung secara lisan, tetapi menyatakan kesiapannya untuk menjadi penjamin pembebasan para aktivis tersebut.
Sikap ini menjadi simbol kuat. Dari seorang tokoh perempuan yang selama ini dikenal memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, muncul komitmen untuk berdiri di barisan terdepan. Kehadiran nama Sinta Nuriyah membuat polemik ini semakin menyentuh hati publik.
Apa yang membuat polisi tak kunjung membebaskan para aktivis? Pertanyaan besar kini bergema di ruang publik
Isu ini pun dibahas secara serius bersama Ketua Penasihat Ahli Polri, Ito Sumardi, serta Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani. Dua figur ini berada di posisi berbeda: satu di lingkaran Polri, satu lagi di garda advokasi hukum masyarakat sipil.
Pertemuan pandangan ini membuka ruang diskusi yang menyingkap sisi-sisi hukum, politik, dan kemanusiaan.
Di satu sisi, Polri memiliki alasan hukum yang membuat mereka berhati-hati. Di sisi lain, desakan masyarakat sipil menuntut pendekatan kemanusiaan. Di titik inilah perdebatan menguat.
Koalisi masyarakat sipil meyakini bahwa penahanan berkepanjangan hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap aparat. Sementara dari sisi kepolisian, pertimbangan hukum dan prosedur formal masih menjadi pijakan utama.




