Indeks News — Suasana tegang menyelimuti halaman Polda Metro Jaya pada Selasa siang itu. Tiga orang dengan latar belakang berbeda—aktivis, jurnalis, dan YouTuber—datang memenuhi panggilan penyidik. Mereka adalah Meryati, Arif Nugroho, dan Sunarto, saksi dalam kasus ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi).
Langkah mereka tidak sendirian. Pengacara Roy Suryo Cs ikut mendampingi, seakan ingin menunjukkan bahwa proses hukum yang sedang berjalan ini bukan sekadar perkara biasa, melainkan persoalan serius yang menyentuh ranah kebebasan berekspresi.
Menurut kuasa hukum, Ahmad Khozinudin, pemanggilan tiga saksi tersebut bukanlah hal sepele. “Hari ini kami memenuhi panggilan dari saksi-saksi, ada tiga. Ini makin menguatkan karena kalau klaster sebelumnya yang disasar hanya aktivis dan akademisi, tapi hari ini kluster media pun dipanggil. Ancaman ini tidak hanya menimpa mereka yang dipanggil, tapi bisa menimpa kawan-kawan media,” katanya di depan wartawan.
Kekhawatiran itu terasa nyata. Bagi mereka yang bergiat di dunia media, pemanggilan ini bisa menjadi sinyal menakutkan. Jika wartawan atau jurnalis bisa dipanggil hanya karena memberitakan suatu isu, bukankah itu bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman?
Sejak kasus ijazah Jokowi mencuat, nama-nama besar sudah lebih dulu dipanggil polisi. Dari kalangan akademisi ada Roy Suryo, dr. Tifauzia Tyassuma, dan Dr. Rismon Sianipar. Dari kalangan aktivis, ada Rizal Fadillah hingga Rustam Effendi.
Namun, kali ini yang berbeda: klaster media ikut dipanggil. Bagi Ahmad Khozinudin, hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Ia menegaskan negara seharusnya hadir melindungi jurnalis, bukan justru membuat mereka takut untuk bekerja.
“Negara tidak boleh membungkam tugas-tugas jurnalisme. Sebaliknya, negara harus hadir terdepan menjamin kemerdekaan berekspresi, termasuk menyampaikan informasi kepada publik,” ujarnya.
Kritik terhadap Proses Hukum
Kritik lain yang mencuat adalah soal relevansi pertanyaan dalam pemeriksaan. Ahmad mencontohkan pengalaman mantan Ketua KPK Abraham Samad, yang sebelumnya dipanggil sebagai saksi. Dalam pemeriksaan, ia ditanyai soal podcast pribadinya yang menghadirkan Roy Suryo sebagai narasumber, padahal hal itu tidak ada kaitannya dengan kasus ijazah Jokowi.
“Panggilan saksi itu limitatif, dibatasi pada peristiwa tertentu, yakni di Jakarta Pusat pada 22 Januari 2025. Tapi kemarin pada Pak Abraham Samad, pertanyaan malah melebar ke hal-hal lain. Itu tidak boleh,” jelas Ahmad.
Menurutnya, praktik seperti ini berbahaya. Jika pemeriksaan saksi dibiarkan meluas tanpa batas, bukan hanya kebebasan media yang terancam, melainkan juga kepastian hukum. “Ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” tambahnya.
Menjaga Kebebasan, Menjaga Demokrasi
Ketiga saksi hari ini, Meryati, Arif Nugroho, dan Sunarto, mungkin hanya tiga nama dari sekian banyak yang dipanggil. Namun, simbolisme dari pemanggilan ini begitu kuat. Mereka mewakili suara media, suara masyarakat sipil, dan suara kreator independen yang kini harus menghadapi ketakutan baru: apakah pekerjaan mereka bisa menyeret mereka ke ruang pemeriksaan polisi?
Di sinilah harapan dititipkan. Proses hukum seharusnya tetap fokus pada pihak yang benar-benar terkait, bukan melebar hingga menyentuh ranah kebebasan pers. Roy Suryo Cs sendiri, melalui pengacaranya, menegaskan sudah siap hadir kapan pun dipanggil.
Di balik semua itu, publik kini menanti: apakah pemeriksaan saksi-saksi ini akan menjadi jalan terang menuju kebenaran, atau justru menimbulkan bayang-bayang gelap dalam demokrasi?




