Dugaan keterlibatan oknum Menteri dalam bisnis PCR, perlu ditelusuri melalui data impor (manifes) di bea cukai. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra.
Keterlibatan oknum Menteri tersebut akan terlihat ketika dilakukan cek faktur pajak dan juga akan tercermin data invoice perusahaan. Disini akan ditemui data real sejauh mana keterlibatan oknum Menteri itu dalam pengadaan PCR ini termasuk motifnya.
“Sebagaimana diketahui, memang ada rentang selisih harga PCR yang begitu tinggi dari harga hampir 2 jutaan dan kini menjadi 250 ribu. Semestinya harga yang dijual pada masyarakat tidak memberatkan. Dimana pada saat beberapa bulan lalu diketahui masyarakat tidak ada pilihan lain seolah PCR menjadi wajib,” ujarnya, Rabu (3/11/2021).
Juga disebutkan oleh Azmi Syahputra, disinilah letak kekeliruan bila ada perusahaan yang terafliasi dengan oknum pejabat yang menyalahgunakan kesempatan disaat rakyat dalam kesulitan dan tidak punya pilihan lain bagi yang butuh PCR.
“Apabila memang nyata secara umum diketahui bahwa perusahaan terafliasi dengan oknum pejabat tersebut benar ikut bisnis PCR dengan berdasarkan data import dan faktur pajak, maka patut diduga dari sinilah sebagai pintu masuk penyimpangan penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukannya,” ujar dosen Fak. Hukum Universitas Trisakti ini.
Azmi menyebut, keterlibatan oknum Menteri ini adalah wujud sikap yang berlawanan dan menyimpang dari maksud sebenarnya dari pemberian kewenangan kementerian untuk menyelenggarakan pemerintahan negara.
“Karenanya patut diduga disini ada criminal corporations, yang dengan memang sengaja perusahaan didirikan atau terafliasi untuk memfasilitasi, melakukan pengambilalihan atau menampung pengendalian atas maksud tujuan tertentu,” jelasnya,
Seolah, lanjutnya, berperan jadi regulator merangkap operator temasuk pula tujuan untuk mendapatkan margin keuntungan bagi perusahaan yang begitu besar, dan dapat berdampak merugikan hak masyarakat yang semestinya harganya dapat lebih efisiensi. Karenanya dari kasus ini perlu diketahui siapa saja personil dari perusahaan ini dan peran dari personil pengendali dalam korporasinya terkait impor PCR ini.
“Selain itu pula ada larangan dalam Undang undang 39 tahun 2008 tentang Kementerian negara. Dimana dinyatakan larangan bagi Menteri untuk merangkap dalam jabatan dalam perusahaan swasta walaupun dalam praktik banyak disiasati dengan nama personil tersebut tidak tercantum di akta perusahaan namun secara umum orang sudah tahu siapa yang dibelakang atau pengendali perusahaan tersebut,” ungkapnya.
Juga ditegaskan oleh Azmi, jika dapat dibuktikan afliasi atau group perusahaan ini ternyata ada hubungannya dengan jabatannya dan dengan sarana jabatan oknum Menteri tersebut dijadikan peluang menyalahgunakan kewenangan ini, jelas dapat dikenakan sanksi dalam Pasal 3 UU Tindak Pidana korupsi.
Maka selanjutnya atas kasus ini perlu mendorong penegak hukum untuk menyisir atas dokumen dan fakta ini dan bila nantinya tidak terbantah maka ini adalah satu perbuatan yang sifatnya melawan hukum. Sehingga terbuktilah unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana jabatan tersebut.
Maka akan terlihat pulalah irisan adanya conflict of interest sepanjang dapat dibuktikan bahwa oknum Menteri dimaksud terlibat dalam putaran bisnis yang menjual PCR dengan harga tinggi di saat rakyat dalam kesulitan.
“Selain itu, indikator keterlibatan ini juga dapat dibuktikan dengan kepemilikan saham dalam perusahaan atau kedudukan dan fungsi dalam perusahaan. Termasuk sebagai pengendali dalam korporasi tersebut atau tidak, dan yang terutama dalam hukum pidana dikenal pula pembuktikan atas hal -hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan,” pungkasnya.