Indeks News – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai sorotan. Harapan besar pemerintah untuk meningkatkan gizi pelajar justru ternodai dengan temuan menu basi hingga kasus keracunan massal di berbagai daerah. Ironisnya, program bernilai triliunan rupiah ini kini dipertanyakan efektivitas dan pengawasannya.
Di SMAN 15 Surabaya, Kamis (18/9), sejumlah siswa mendapati makanan yang seharusnya menyehatkan justru mengeluarkan bau tak sedap. Saat tutup wadah dibuka, aroma basi dari sayuran langsung menyergap. Banyak siswa memilih tidak menyentuh menu yang dibagikan.
Kepala sekolah, Johanes Mardijono, mengaku kaget. Delapan hari sebelumnya, makanan yang dibagikan selalu sesuai harapan siswa. Namun, pada hari kesembilan, sekitar 30 persen dari 1.285 siswa enggan makan karena mencurigai makanan tidak layak konsumsi.
Meski demikian, Johanes memastikan tidak ada siswa keracunan karena pihak sekolah segera menarik menu yang dianggap bermasalah dan mengembalikannya kepada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Program MBG pun tetap berjalan di hari berikutnya.
Ribuan Anak Keracunan di Daerah Lain
Kasus di Surabaya hanyalah bagian kecil dari persoalan besar. Di banyak wilayah, menu MBG justru memicu keracunan massal. Terbaru, 251 siswa di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap makanan gratis pada Rabu (17/9).
Data yang dihimpun Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) jauh lebih mencengangkan. Hingga kini, tercatat 5.360 anak di berbagai daerah mengalami keracunan. Banyak di antaranya harus berbaring di rumah sakit dengan selang infus di tangan mungil mereka.
“Kami tidak tega melihat anak-anak harus berjuang di rumah sakit hanya karena program ini. Presiden dan Badan Gizi Nasional jangan bermain-main dengan nyawa anak-anak bangsa,” tegas Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, seraya mendesak Presiden Prabowo Subianto menghentikan sementara MBG untuk evaluasi menyeluruh.
DPR Kritik Lemahnya Pengawasan
Sorotan tajam juga datang dari Komisi IX DPR RI. Anggota DPR Edy Wuryanto menyebut pengawasan MBG masih jauh dari maksimal. Menurutnya, fakta keracunan massal menunjukkan lemahnya kontrol mutu.
Edy mengkritik Badan Gizi Nasional (BGN) yang terlalu fokus mengejar kuantitas dapur demi serapan anggaran, tanpa memastikan kualitas. Dari anggaran Rp71 triliun, baru terserap 18,6 persen. “Yang dikejar itu jumlah dapur, bukan kualitas. Banyak dapur dibangun asal jadi, tidak memenuhi standar,” ujarnya.
Ia juga menyoroti minimnya pengawasan dari BPOM dan Dinas Kesehatan daerah, padahal BPOM baru saja mendapat tambahan anggaran Rp700 miliar khusus untuk pengawasan.
Dugaan Ribuan Dapur Fiktif Makan Bergizi Gratis
Kritik lain muncul dari Nurhadi, anggota DPR dari Partai Nasdem. Ia mengungkap adanya dugaan 5.000 dapur MBG fiktif. Modusnya, oknum yang paham sistem pendaftaran dapur “mengunci” titik lokasi dengan yayasan mereka, lalu menjualnya ke investor tanpa membangun dapur sama sekali.
“Ribuan titik dapur mangkrak bukan sekadar soal teknis, tapi menyangkut hak anak-anak Indonesia untuk mendapat gizi layak,” tegas Nurhadi.
Namun, Kepala BGN Dadan membantah tudingan tersebut. Menurutnya, ribuan dapur itu hanya terkena kebijakan roll back karena tidak dibangun dalam waktu 20 hari. “Itu bukan fiktif. Kalau tidak ada tindak lanjut pembangunan, maka titik dapur dikembalikan lagi agar bisa diambil pihak lain,” ujarnya.
Program MBG lahir dengan tujuan mulia: memastikan setiap anak Indonesia mendapat makanan bergizi agar tumbuh sehat dan cerdas. Namun di lapangan, kenyataan berkata lain. Kasus makanan basi, ribuan anak keracunan, hingga dugaan dapur fiktif telah mengoyak kepercayaan publik.
Kini, program bernilai triliunan rupiah ini berada di persimpangan jalan. Apakah pemerintah akan menutup mata demi mengejar target politik, atau benar-benar berbenah untuk menyelamatkan nyawa dan masa depan anak-anak bangsa?




