Indeks News — Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Suciwati, istri almarhum Munir Said Thalib, memberikan peringatan keras soal bahaya penulisan ulang sejarah oleh penguasa. Ia menilai langkah itu hanya akan melahirkan kebohongan, terutama terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum pernah diselesaikan tuntas di Indonesia.
“Rekam jejak rezim ini silih berganti, yang ditulis selalu kebohongan,” tegas Suciwati di Jakarta.
Menurutnya, janji-janji pemerintah yang tak kunjung ditepati memperkuat anggapan bahwa kasus pelanggaran HAM—termasuk pembunuhan Munir—tidak pernah menjadi prioritas penanganan. “Sudah berapa kali presiden berjanji, kan? Tapi tak pernah terealisasi,” ujarnya.
Suciwati menegaskan, sejarah harus ditulis oleh pihak yang kompeten dan independen, seperti sejarawan atau pihak yang selama ini fokus membicarakan dan mendokumentasikan pelanggaran HAM.
“Sejarah itu tidak boleh ditulis oleh penguasa,” katanya.
Ia mengungkapkan, kini banyak korban mulai menuliskan kisah mereka sendiri sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya “cuci bersih” sejarah. Menurutnya, ini menjadi langkah penting agar narasi yang lahir bukan sekadar glorifikasi rezim, tetapi juga memuat suara korban.
Bagi Suciwati, penulisan ulang sejarah oleh rezim adalah upaya untuk menghapus jejak kejahatan kemanusiaan.
“Mereka mengingkari korban, seolah kejahatan kemanusiaan itu tidak ada,” ujarnya.
Karena itu, ia mendorong rakyat untuk mengambil peran aktif dalam menulis sejarah, agar kisah korban tidak dihapus dari ingatan publik. Salah satu langkah yang dilakukan adalah bekerja sama dengan guru sejarah dan masuk ke sekolah-sekolah untuk menyebarkan cerita korban pelanggaran HAM.
“Kami masuk ke ruang-ruang sekolah, bekerja sama dengan guru sejarah, agar korban tidak diabaikan dan kisah mereka tetap hidup,” jelasnya.
Meski kini masih bisa memanfaatkan ruang kebebasan untuk berbicara, Suciwati mengingatkan bahwa situasi itu bisa berubah sewaktu-waktu. Kekuasaan, menurutnya, dapat dengan mudah menutup ruang kritik.
“Hari ini kita bisa pakai ruang apa pun. Tapi kalau kekuasaan semakin semena-mena, ruang itu bisa ditutup,” ujarnya.
Suciwati juga memperingatkan masyarakat agar waspada terhadap sistem yang secara perlahan membatasi kebebasan berpendapat. Ia mencontohkan, tekanan di media sosial yang terus meningkat jika masyarakat diam dan tidak melawan.
“Diam, mereka naikkan lagi tekanannya, dan itu bagian dari sistem yang mereka bangun,” pungkasnya.




