spot_img
spot_img

Cermin Buram Penegakan Hukum: Silfester Matutina Terpidana Fitnah JK Tak Kunjung Dieksekusi

Indeks News – Sudah enam tahun sejak Mahkamah Agung memutuskan Silfester Matutina bersalah dalam kasus fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019 itu seharusnya menempatkan Silfester Matutina di balik jeruji selama 1,5 tahun. Namun, hingga pertengahan Agustus 2025, langkah eksekusi itu belum juga dilakukan.

Bagi pihak Jusuf Kalla, penundaan ini bukan sekadar kelalaian. Mereka melihatnya sebagai cermin buram penegakan hukum yang bergantung pada kekuasaan, bukan keadilan.

Di saat seharusnya menjalani vonis, Silfester justru leluasa mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Padahal, menurut sahabat JK, Hamid Awaluddin, PK memiliki syarat ketat: bukti baru yang bisa mengubah putusan, pertentangan putusan, atau kekhilafan nyata dari hakim. “Pertanyaannya, apakah syarat-syarat itu benar dipenuhi?” tegas Hamid.

Kejaksaan Agung sendiri sudah menegaskan bahwa PK tidak menunda eksekusi. Namun, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sebagai eksekutor, masih belum menjalankan perintah hukum tersebut.

Dugaan Intervensi Politik

Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menyebut kasus ini sarat aroma politik. Menurutnya, ada kekuatan yang menahan proses eksekusi. “Ini impunitas yang terkait erat dengan pengaruh politik,” ujar Marzuki.

Kecurigaan publik kian tebal karena Silfester Matutina dikenal sebagai pendukung garis keras Presiden Joko Widodo dan bahkan diangkat menjadi Komisaris Independen BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia pada Maret 2025.

Meski berstatus terpidana, Silfester Matutina tetap aktif tampil di berbagai acara publik dan diskusi televisi. Ia bahkan terlibat perdebatan panas dengan tokoh publik seperti Rocky Gerung dan politikus PDIP Chico Hakim pada 2024.

Silfester mengklaim tak keberatan jika akhirnya dieksekusi. Ia menyebut sudah berdamai dengan JK secara pribadi, dan menganggap kasusnya selesai di luar pengadilan. Namun bagi pihak korban, damai pribadi tak menghapus putusan hukum negara.

Alasan Kejaksaan: Hilang dan Pandemi

Anang Supriatna, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung yang pernah menjabat Kajari Jaksel pada 2019, mengaku eksekusi sempat gagal karena Silfester Matutina “hilang” setelah putusan inkrah. Saat hendak dicari, pandemi COVID-19 melanda. “Waktu itu jangankan memasukkan orang, yang di dalam saja harus dikeluarkan,” ujarnya.

Anang membantah adanya tekanan politik. Namun, fakta bahwa pucuk pimpinan Kejari Jaksel berganti-ganti sejak 2019 membuat proses ini semakin kabur.

Kasus yang Memantik Luka Lama

Kasus ini bermula pada 2017 ketika Silfester Matutina menuduh Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta. Tuduhan itu dibawa ke ranah hukum oleh putra JK, Solihin Kalla. Pengadilan memvonis satu tahun penjara, lalu diperberat MA menjadi 1,5 tahun.

Kini, enam tahun setelah vonis berkekuatan hukum tetap, Silfester Matutina masih menghirup udara bebas.

Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menjamin kesamaan kedudukan di mata hukum. Namun, kasus ini menunjukkan jurang antara teks konstitusi dan kenyataan. Penundaan eksekusi membuka luka di hati korban dan mencederai kepercayaan publik terhadap hukum.

Bagi pihak Jusuf Kalla, hanya satu jalan untuk mengakhiri polemik ini: jalankan putusan pengadilan tanpa lagi menunggu. Sebab keadilan yang ditunda, pada akhirnya adalah keadilan yang dinafikan. (FCR)

GoogleNews

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses