Indeks News – Suasana ruang rapat Komisi I DPRD Jawa Barat pada Kamis siang itu terasa berbeda. Bukan hanya sekadar forum resmi, melainkan ruang penuh emosi ketika para pimpinan redaksi media se-Jawa Barat bertemu dan berdiskusi dengan anggota dewan.
Topik yang dibicarakan adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (Demul), yang menuai pro dan kontra, khususnya soal pemotongan anggaran kerjasama dengan media.
Diskusi yang seharusnya berlangsung tenang, berubah menjadi ajang curahan hati para insan pers. Salah satunya datang dari Ati Suprihatin, Pemimpin Redaksi Koran Gala. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan betapa kebijakan pemotongan anggaran itu melukai hati para jurnalis.
“Pemotongan kerjasama anggaran dengan media itu diucapkan berulang-ulang ke publik. Ini sebenarnya mengiris perasaan kami, karena kami dianggap telah mengemisnya,” ujar Ati di hadapan Komisi I.
Pernyataan itu membuat suasana ruangan terdiam sejenak. Ungkapan hati seorang pimpinan redaksi mencerminkan kegelisahan mendalam yang dirasakan banyak media di Jawa Barat.
Gubernur Turun ke Rakyat, Tapi…
Ketua Komisi I DPRD Jawa Barat, Ono Surono, mencoba memberi gambaran lain tentang gaya kepemimpinan Gubernur Demul. Menurutnya, sang gubernur memang dikenal sering turun langsung ke masyarakat, menyapa hingga lapisan terbawah. Bahkan, tak jarang Demul memberikan bantuan uang secara langsung kepada warga yang ditemuinya.
Namun, Ono mengingatkan ada sisi yang luput dari perhatian gubernur. “Ia memang terjun ke masyarakat, melakukan bincang-bincang, lalu memberi sejumlah uang. Tapi, ia tidak pernah masuk lebih detail ke pabrik-pabrik yang ada di Jawa Barat,” kata Ono.
Ungkapan itu menegaskan bahwa kepemimpinan yang dekat dengan rakyat tidak selalu sejalan dengan perhatian terhadap sektor lain, termasuk media dan dunia kerja.
Alasan di Balik Pemotongan Anggaran
Pemotongan anggaran kerjasama dengan media bukan tanpa alasan. Menurut penjelasan yang muncul dalam diskusi, Gubernur Demul menilai keberadaan tim media yang telah dibangunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan publikasi. Maka, kerjasama dengan media dianggap sebagai bentuk pemborosan.
“Ya, beliau berkata begitu. Karena dirinya menganggap sudah memiliki tim media,” papar Ono di hadapan para pimpinan redaksi.
Bagi insan pers, alasan itu terdengar getir. Media, yang selama ini menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyampaikan informasi ke publik, justru merasa dipinggirkan. Rasa tersayat muncul ketika hubungan kerja sama yang bersifat profesional disamakan dengan permintaan belas kasihan.
Pertemuan di ruang Komisi I hari itu bukan sekadar diskusi, melainkan sebuah cermin. Cermin yang memperlihatkan bagaimana kebijakan pemerintah bisa berdampak langsung pada perasaan, eksistensi, dan martabat para insan pers.
Kini, pertanyaan yang menggantung: apakah suara dari ruang rapat itu akan benar-benar didengar dan dipertimbangkan oleh Gubernur Demul, atau hanya akan hilang menjadi gema yang pelan-pelan meredup?




