Iklan
Iklan

Jokowi Perusak Demokrasi di Indonesia

- Advertisement -

Oleh: Setri Yasra, dikutif dan dilangsir dari Majalah Tempo.co

Dengan menempatkan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Calon Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, merupakan wujud Paranoia Jokowi. Kepentingan personal yang merusak demokrasi.
Karena Jokowi Demokrasi Binasa;

Sepuluh tahun lalu mayoritas Rakyat Indonesia memilih Joko Widodo sebagai presiden, untuk mencegah Prabowo Subianto berkuasa. Prabowo adalah salah satu simbol kekuatan lama orde baru yang hendak diputus melalui reformasi 1998.

Kini tak hanya bersekutu, Joko Widodo bahkan menyokong Prabowo dengan memasangkan Ketua Umum Partai Garindra itu dengan anaknya Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden 2024.

Setelah gagal mendapatkan dukungan publik dan partai politik untuk memperpanjang masa jabatan presiden, Jokowi memakai cara yang sepintas demokratis, tapi untuk tetap berkuasa.

Dibanyak negara politik dinasti memang tidak dilarang, tapi ia terbukti merusak demokrasi, karena menodai pernes dalam sistim pemilihan.

Sebagai penguasa Jokowi bisa memobilisasi aparatur dan alat negara serta sumber dana untuk memenangkan calon presiden yang ia dukung.

Penggantian Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Pertanian serta Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) oleh orang-orang dikenal punya sejarah kedekatan dengan Jokowi mudah ditafsirkan sebagai bagian dari upaya pemenangan pemilu 2024, ketimbang perbaikan Tekhnoratik di ketiga Lembaga.

Dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020, mobilisasi alat kekuasaan oleh patron calon kepala daerah efektif menjaring suara pemilih, dari 804 calon sebanyak 16,8 % memiliki hubungan dengan dinasti politik dan 42,96 % memenangi pemilihan.

Seperti disebut Herbert Simon dalam Administrative Behavior (1947) dalam sistim pemilihan yang demokratis, suara pemilih cendrung mengikuti suara elite yang punya sumber daya menguasai sumber informasi.

Studi Hailul Khairi dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri pada 2022 menyebutkan pemilih umumnya mencoblos kepala daerah yang populer meski mereka tak kompeten dan bagian dari dinasti politik.

Keleluasaan Jokowi mengacak-acak cita-cita reformasi 1998 terjadi akibat partai-partai hanya memikirkan perut sendiri.

Alih-alih memimpin oposisi, Prabowo Subianto menerima pinangan Jokowi menjadi Menteri Pertahanan, setelah kalah dalam pemilu 2014 dan 2019.

Dalih rekonsiliasi menyembuhkan polarisasi tersebab dua pemilu menjadi alasan yang dipakai keduanya membangun koalisi ganjil tersebut. Dengan bergabungnya Prabowo dalam kabinet Jokowi juga diikuti partai-partai lain.

Koalisi tanpa syarat yang dibentuk Jokowi membuat ia leluasa merangkul dan memiting lawan politiknya. Partai-partai yang haus kekuasaan kemudian berlomba melayani keinginan Jokowi memereteli dan melumpuhkan Lembaga-lembaga pengontrol kekuasaan.

Partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat, setuju ketika Jokowi mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Partai-partai membiarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dikuasai Jokowi melalui pernikahan adiknya dengan Ketua MK Anwar Usman.

Jokowi bahkan terang-terangan memakai Lembaga hukum menggebuk lawan politik yang tak sejalan dan mencegah sekutu membelot.

Penelusuran Majalah Tempo ini menemukan dukungan Golkar terhadap Gibran Rakabuming Raka terjadi karena Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto tersandra kasus korupsi minyak goreng dan dugaan penyalahgunaan subsidi dana sawit.

Penyelidikan Jaksa Agung membuat Golkar sukarela menjadi kendaraan Gibran sebagai calon wakil presiden meski ia menjadi kader PDI Perjuangan.

Ketika kekuasaan tak punya kontrol, presiden seperti Joko Widodo sesuka hati membuat kebijakan betapapun membahayakan Indonesia.

Proyek-proyek mercusuar yang membebani anggaran negara, pembangunan ibu kota Nusantara di Kalimantan Timur, tanpa studi yang kuat dan pengerukan sumber daya alam yang merusak lingkungan hanyalah output kekuasaan tanpa kontrol itu.

Dengan kebijakan yang tak memenuhi tata kelola yang baik seperti itu, Joko Widodo membutuhkan presiden setelah 2024 yang melindunginya dari konsekwensi hukum.

Menempatkan anak keturunannya sebagai calon wakil presiden adalah wujud paranoia dan ketidak percayaan diri Joko Widodo, sesuatu yang personal tapi secara fundamental merusak demokrasi.

“Simak opini dan liputan selengkapnya di majalah Tempo.co,” tutupnya,(Misnato).

Trending Topic

Subscribe
Notify of

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Iklan

Iklan

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA