Indeks News – Publik kembali dikejutkan oleh kabar yang menyisakan keprihatinan. Konten kreator Linda Tan ata Linda Waty mengaku mendapat intimidasi dari pihak yang mengatasnamakan aparat kepolisian. Ironisnya, kedatangan mereka tidak disertai surat tugas resmi, sebuah prosedur yang seharusnya wajib dipenuhi.
Peristiwa ini menimbulkan gelombang pertanyaan besar. Apa alasan seorang warga biasa, yang aktif menyuarakan pandangan lewat media sosial, harus menghadapi tekanan tanpa dasar hukum yang jelas?
Suara Kritisis Konten Kreator yang Mengusik
Linda Tan dikenal sebagai sosok berani yang konsisten mengulas kasus dugaan pemerasan Nikita Mirzani terhadap Reza Gladys. Ia tidak hanya menyoroti jalannya sidang, tetapi juga perilaku aparat hukum di balik meja pengadilan.
Salah satu nama yang kerap disorotnya adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) Inda Putri Manurung. Dalam beberapa kesempatan, Linda menyoroti tindakan Inda Putri yang merekam Nikita menggunakan ponsel, hingga memaksa sang artis mengenakan rompi kejaksaan sebelum digiring kembali ke Rutan Pondok Bambu.
Tak berhenti di sana, Linda bahkan membagikan profil lengkap sang jaksa, termasuk jabatan dan riwayat pendidikan. Baginya, keterbukaan informasi ini penting agar publik mengetahui siapa saja aparat yang terlibat dalam perkara yang menyita perhatian luas.
Nama Jaksa yang Berulang
Sorotan Linda tidak hanya tertuju pada Inda Putri. Ia juga menyinggung beberapa jaksa lain seperti Nuli Nali Murti, Monica Sevi Herawati, dan Refina Dona Sihombing. Menurut Linda, nama-nama tersebut tidak asing.
Mereka adalah jaksa yang juga pernah menangani kasus suaminya. Kala itu, sang suami diperlakukan seolah-olah seorang teroris atau pembunuh, meski kasus yang dihadapinya berbeda.
“Jaksa yang sama, kasus hampir sama, ada TPPU juga. Dikawal ketat kayak teroris dan pembunuh. Semua memang sudah dikondisikan tuntutan tinggi melebihi koruptor negara,” tulis Linda dalam salah satu unggahannya.
Lebih memilukan, Linda mengungkapkan bahwa suaminya pernah dipaksa hadir di persidangan meski dalam kondisi sakit. Surat keterangan medis yang dibawanya dianggap tidak sah, seolah hanya berlaku untuk pejabat tertentu.
Kejadian intimidasi terhadap Linda Tan seakan menambah panjang daftar kegelisahan publik tentang wajah hukum di Indonesia. Bagaimana mungkin aparat mendatangi seorang konten kreator tanpa membawa surat tugas resmi?
Lebih jauh, kasus ini menyentil isu perlakuan tidak adil dalam sistem peradilan, baik bagi seorang selebriti seperti Nikita Mirzani, maupun bagi warga biasa seperti suami Linda.
Pertanyaan besar kini menggantung: benarkah hukum bisa berbeda wajahnya, tergantung siapa yang duduk di kursi terdakwa?
Kasus Linda Tan bukan sekadar tentang intimidasi terhadap seorang konten kreator. Ini adalah cermin kegelisahan masyarakat yang menuntut keadilan tidak hanya berlaku di atas kertas, tetapi benar-benar terasa dalam setiap tindakan aparat hukum.




