Indeks News – Suasana duka menyelimuti sebuah rumah sederhana di Kabupaten Deli Serdang. Lanniari, seorang ibu, masih tak percaya putri bungsunya, Nazwa Aliya (19), kini hanya tinggal nama. Gadis yang berpamitan mencari pekerjaan di Medan, justru ditemukan tak bernyawa di Kamboja.
Kabar itu datang bagai petir di siang bolong. Nazwa Aliya disebut meninggal karena overdosis obat panadol. Padahal, ibunya tahu, Nazwa memang mengidap sakit lambung atau dispepsia.
Namun, penyebab pasti kepergiannya masih diselidiki. Kepala Balai Perlindungan Pekerja Migran (BP2MI) Sumut, Harold Hamonangan, menyebut pihaknya tengah berkoordinasi dengan KBRI dan Kementerian Luar Negeri.
“Sekarang kami masih tunggu berita lengkap soal kematiannya. Untuk pemulangan, kalau sudah sampai di Sumut baru bisa kami fasilitasi. Tapi dari Kamboja ke sini, itu kewenangan KBRI,” jelas Harold, Kamis (21/8).
Bagi Lanniari, duka itu makin berat ketika ia mendapat kabar dari KBRI. Biaya pemulangan jenazah anaknya ke tanah air mencapai Rp138 juta. Jika dimakamkan di Kamboja, biayanya tetap besar, sekitar Rp50–60 juta.
Sebagai seorang ibu dengan keterbatasan ekonomi, angka itu terasa mustahil. “Saya sama sekali tak sanggup,” ucap Lanniari lirih.
Harold menegaskan, pemerintah daerah hanya bisa membantu jika jenazah sudah sampai di Sumatera Utara. “Kalau dari sana, biayanya tinggi dan di luar kewenangan kami,” tambahnya.
Awal Kepergian Nazwa Aliya yang Misterius
Kisah tragis ini berawal pada 29 Mei lalu. Pagi buta sekitar pukul 04.30 WIB, Nazwa Aliya pergi meninggalkan rumah. Malam sebelumnya ia sempat pamit akan wawancara kerja di salah satu bank swasta di Medan.
Namun, firasat seorang ibu tak pernah salah. Lanniari merasa ada yang janggal. Ia mencoba menghubungi Nazwa Aliya, dan betapa terkejutnya ketika anaknya justru memberi kabar sudah berada di Thailand.
Di bandara Thailand, Nazwa menyebut akan bertemu seorang pria bernama Chris, teman lama ibunya ketika bekerja di Malaysia. Dari sana, ia akan dibawa menuju Kamboja. Chris mengaku sedang membangun perusahaan di negara itu. Namun, hingga kini kebenaran cerita itu masih abu-abu.
Yang lebih menyakitkan, setelah pertemuan itu, nomor telepon Lanniari diblokir oleh Nazwa maupun Chris. Ia benar-benar kehilangan jejak putrinya. Hingga akhirnya, pada 12 Agustus, ia menerima kabar duka: Nazwa meninggal dunia di Kamboja.
Kini, yang tersisa hanyalah penyesalan dan air mata. Seorang ibu yang berharap anaknya mendapat pekerjaan layak, justru harus menanggung kenyataan pahit. Anak gadisnya yang baru 19 tahun, kembali dalam keadaan tak bernyawa.
Tragedi ini bukan sekadar kisah duka sebuah keluarga, tetapi juga peringatan keras. Bahwa di luar sana, banyak jalan kerja yang justru membawa petaka.
Lanniari hanya bisa berharap, ada jalan agar putrinya bisa dipulangkan dan dimakamkan di tanah kelahirannya, meski biaya selangit menghadang.




