Kritikan Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri terhadap kebijakan hilirisasi pertambangan dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi, khususnya nikel, dinilai tidak menguntungkan bagi Indonesia.
Faisal Basri menilai mayoritas keuntungan atas kebijakan ini bukan dirasakan oleh Indonesia melainkan mengalir ke China.
Faisal Basri mengatakan keuntungan yang dirasakan Indonesia atas regulasi tersebut tak kurang dari 10 persen.
“90 persennya lari ke China,” ujarnya dalam seminar yang dilaksanakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta Pusat, Selasa, 8 Agustus 2023.
Kalau hilirisasi yang diterapkan hanyalah mengolah bijih nikel menjadi NPI atau feronikel, kata Faisal Basri, sebagian besar keuntungannya akan tetap mengalir ke negeri Tirai Bambu. Karena itu, ia menilai kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia nyatanya hanya mendukung industrialisasi di Cina.
Faisal menjelaskan 95 persen bijih nikel di Indonesia digunakan untuk perusahaan-perusahaan di China. Pada awalnya bijih nikel dibanderol dengan harga US$ 34 oleh pemerintah Indonesia. Padahal, menurut Faisal Basri, di Shanghai bijih nikel dijual dengan harga 80 dolar.
Ekonom senior Indef itu pun mengkritik langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi beserta jajaran menterinya yang selalu menyuarakan keberhasilan hilirisasi nikel. Sebab menurutnya, yang banyak diekspor itu bukan dalam bentuk yang sudah diolah atau hasil hilirisasi.
Sayangnya, Indonesia hanya memiliki kebijakan hilirisasi dan tak memiliki strategi industrialisasi. Padahal, menurutnya, hanya industrialisasi yang mampu meningkatkan nilai tambah di dalam negeri serta memperkuat struktur industri dan perekonomian.
Dalam kesempatan yang sama, Plt Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Mochamad Firman pun merespons soal pernyataan Faisal tersebut.
Meski 90 persen keuntungan dari hilirisasi mengalir ke China, ia mengatakan sebelumnya pun ekspor dalam bentuk bijih nikel 90 persen dilakukan ke China.
Ketika ekspor bijih nikel dilakukan, tuturnya, yang diekspor itu benar-benar berupa tanah dengan kandungan nikel nya yang kurang dari 2 persen.
“Jadi ketika kita bicara mengenai ekspor bijih nikel, kita bicara ekspor secara harfiah tanah air kita. Itu yang kita lakukan selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Dia pun membenarkan hanya 10 persen keuntungan dari kebijakan hilirisasi ini yang mengalir ke RI. Namun, ia kembali menekankan sebelum kebijakan hilirisasi, nilai atau value added yang didapat Indonesia 0 persen atau tidak ada sama sekali. Dengan demikian, 100 persen nilainya diambil Cina.
Dengan melakukan hilirisasi, menurut Firman, nilai ekspor nikel Indonesia menjadi naik berkali lipat. Meskipun dahulu Indonesia mengekspor 6 juta ton bijih nikel, dia mengatakan nilainya hanya sekitar US$ 1,7 miliar. Sedangkan setelah hilirisasi, Firman mencatat nilai ekspor turunan nikel ini mencapai US $ 35,6 miliar atau sekitar 6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan hanya mengekspor bijih nikel.
“Memang benar juga Pak Faisal saat ini kita masih berfokus pada besi dan baja, tetapi peringkat ekspor besi dan baja kita mampu menempati peringkat 5 dunia,” pungkasnya.