JAKARTA, Indeks News – Ironi melanda dapur rakyat. Harga beras di pasar kian hari makin mahal, padahal stok nasional tercatat melimpah dan produksi padi surplus. Data Badan Pusat Statistik (BPS) minggu ke-3 September 2025 menunjukkan harga beras medium di seluruh zona sudah menembus Harga Eceran Tertinggi (HET).
Zona 1 rata-rata Rp13.884 per kilogram dengan HET Rp13.500. Zona 2 mencapai Rp14.739 per kilogram, di atas HET Rp14.000. Zona 3 bahkan menembus Rp18.860, jauh dari HET Rp15.500. Kondisi paling ekstrem terjadi di Papua, dengan harga beras medium di Intan Jaya Rp47.857 per kilogram, Puncak Rp45.000, dan Yahukimo Rp32.692. Angka ini lebih dari dua kali lipat HET nasional.
Data Kementerian Pertanian berbasis KSA BPS (Juli 2025) mencatat produksi Januari–Oktober mencapai 53,87 juta ton gabah kering giling atau setara 31,04 juta ton beras. Dengan konsumsi nasional 25,99 juta ton, terdapat surplus lebih dari 5 juta ton. Bulog pun memegang 3,92 juta ton stok per September 2025, jumlah terbesar sepanjang sejarah.
Namun, distribusi tidak merata. Hampir 60% stok menumpuk di Jawa, sementara Papua hanya 31 ribu ton dan Maluku 16 ribu ton. Ketimpangan spasial ini membuat harga beras di Indonesia timur melambung jauh lebih tinggi dibanding wilayah barat.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) sempat menyebut kenaikan harga dipicu naiknya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kilogram. Namun, data Kementerian Pertanian menunjukkan rata-rata harga gabah kering panen hanya Rp6.625 per kilogram. Ironisnya, daerah dengan harga gabah rendah justru mengalami lonjakan harga beras paling tajam, seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Hal ini mempertegas bahwa persoalan beras bukan pada ketersediaan, melainkan pada rantai distribusi dan tata niaga. Panjangnya jalur distribusi, biaya logistik mahal, dugaan spekulasi, penimbunan oleh pedagang besar, hingga intervensi Bulog yang tidak luwes disebut sebagai biang keladi.
Kenaikan harga beras kini terasa nyata di meja makan rakyat. Di pasar tradisional, ibu rumah tangga mengeluh karena uang seratus ribu hanya cukup untuk beras yang makin tipis. Pedagang warung makan sederhana terpaksa menaikkan harga sepiring nasi, meski sadar pelanggan bisa kabur. Pedagang kecil pun berada dalam dilema: menaikkan harga berarti kehilangan pembeli, menahan harga berarti modal terkikis.
Situasi ini berpotensi memukul usaha kecil hingga memicu keresahan sosial. Sejarah krisis 1998 mengingatkan bahwa harga beras yang tak terkendali bisa mengguncang stabilitas politik.
Pemerintah didesak segera melakukan langkah konkret: memperkuat transparansi stok dan distribusi, memangkas rantai pasok, memberantas praktik kartel, serta memberikan subsidi transportasi pangan ke wilayah timur. Digitalisasi data pangan juga dinilai mendesak agar informasi produksi, stok, dan harga terintegrasi.
Koperasi modern bisa dijadikan penghubung langsung antara petani dan konsumen untuk memangkas jalur distribusi. Lebih jauh, pemerintah perlu mengubah fokus pengelolaan pangan, tidak hanya pada produksi, tetapi juga pemerataan distribusi dan aksesibilitas.
Jika tidak segera dibenahi, lonjakan harga beras di tengah stok melimpah ini bukan sekadar anomali ekonomi, tetapi bisa berubah menjadi krisis kepercayaan publik terhadap negara.




