Indeks News – Kebebasan berekspresi kembali berada di ujung tanduk. Suasana keprihatinan terasa ketika Koalisi Masyarakat Sipil bersuara lantang mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menghormati hak dasar warga negara dalam menyampaikan pendapat.
Seruan ini muncul setelah polisi memproses laporan terhadap Ferry Irwandi, CEO Malaka Project, dan sejumlah aktivis lainnya. Laporan tersebut diketahui merupakan tindak lanjut dari pemantauan yang dilakukan Satuan Siber (Dansatsiber) TNI.
Kekhawatiran Militerisasi Ruang Siber
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menyampaikan bahwa keterlibatan TNI dalam memantau aktivitas warga di ruang digital adalah langkah yang keliru.
“Koalisi Masyarakat Sipil menyayangkan keterlibatan TNI dalam pemantauan aktivitas ruang siber, yang justru memperkuat gejala militerisasi ruang siber,” ujar Hendardi dalam keterangan tertulis, Selasa (9/9).
Ia menegaskan, tugas utama Satuan Siber TNI seharusnya berfokus pada ancaman perang siber sebagai bagian dari pertahanan negara. Bukan justru masuk ke ranah sipil hingga memengaruhi proses penegakan hukum.
“Langkah ini berbahaya bagi demokrasi dan negara hukum. Lebih dari itu, bisa menimbulkan chilling effect—efek jeri yang membungkam kebebasan berekspresi warga,” tambahnya.
Dalam situasi pasca kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang terjadi beberapa hari lalu, Hendardi meminta polisi memusatkan perhatian pada penyelidikan fakta dan mencari aktor intelektual di balik peristiwa tersebut.
“Data dan informasi, baik yang beredar secara daring maupun luring, seharusnya dipakai untuk mendalami kasus kerusuhan. Warga yang membantu membuka fakta seharusnya dilindungi hukum, bukan malah diintimidasi,” tegas Hendardi.
Sehari sebelumnya, sejumlah jenderal TNI mendatangi Polda Metro Jaya untuk konsultasi terkait dugaan tindak pidana Ferry Irwandi. Hadir dalam pertemuan itu antara lain Dansatsiber TNI Brigjen Juinta Omboh Sembiring, Danpuspom TNI Mayjen Yusri Nuryanto, dan Kapuspen TNI Brigjen Freddy Ardianzah.
“Kami menemukan beberapa fakta dugaan tindak pidana yang dilakukan saudara Ferry Irwandi. Selanjutnya kami akan menempuh langkah hukum,” kata Brigjen Sembiring, Senin (8/9).
Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci dugaan tindak pidana yang dimaksud. Sembiring juga mengklaim sudah mencoba menghubungi Ferry, tetapi gagal karena nomor telepon tidak aktif.
Respons Ferry Irwandi
Melalui akun Instagram @irwandiferry, Ferry Irwandi menyampaikan kebingungannya. Ia menegaskan tidak mengetahui tindak pidana apa yang dituduhkan kepadanya.
“Saya tidak takut. Kalau memang harus menjalani proses hukum, mari kita jalani bersama. Ini kan negara hukum,” ucap Ferry Irwandi dalam sebuah video.
Ia juga membantah tudingan sulit dihubungi. Menurutnya, banyak wartawan bisa mengontaknya dengan mudah, bahkan tanpa meminta nomor pribadi.
“Saya masih di Jakarta, tidak ke Singapura atau negara lain. Saya tidak pernah menerima pesan dari TNI. Jadi, klaim tidak bisa dihubungi itu tidak benar,” jelas Ferry.
Kisah ini lebih dari sekadar polemik antara seorang aktivis dan institusi militer. Ini adalah pertaruhan atas masa depan kebebasan sipil di Indonesia.
Ketika ruang digital yang seharusnya menjadi wadah kebebasan justru diawasi secara ketat, rasa cemas wajar muncul. Apalagi jika aparat militer mulai masuk terlalu jauh ke ranah sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil menutup pernyataannya dengan satu pesan tegas: jangan sampai demokrasi dikorbankan oleh praktik militerisasi ruang siber.





Menurut hemat saya kehadiran TNI atau Tim Cyber TNI di dunia maya/Cyber adalah sangat tepat tujuannya bukan membatasi gerak masyarakat namun memantau perkembangan ruang tsb agar dapat diantisipasi kemungkinan adanya hal hal yang akan menciptakan kegaduhan apalagi mengarah pada disitegrasi bangsa. Langkah langkah antisipasi perlu dilakukan agar tdk terjadi, kalo sdh trjadi agar tdk melebar. Jangan samapi persoalan tersebut sdh menganga baru diserahkan kepada aparat TNI Polri