Indeks News – Langkah Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Satuan Siber yang melakukan patroli media sosial dan menemukan dugaan tindak pidana oleh influencer Ferry Irwandi memicu polemik besar. Tindakan itu dianggap melampaui kewenangan, bertentangan dengan Undang-Undang, serta mengancam prinsip demokrasi di Indonesia.
Suasana menjadi tegang ketika pada Senin, 8 September 2025, Komandan Satuan Siber TNI, Brigadir Jenderal Juinta Omboh Sembiring, mendatangi Markas Polda Metro Jaya. Dengan tegas ia menyampaikan hasil patroli sibernya yang menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran hukum oleh Ferry Irwandi, seorang influencer yang dikenal kritis terhadap pemerintah.
“Dari patroli siber, kami temukan beberapa fakta-fakta dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Saudara Ferry Irwandi,” ujar Juinta kepada wartawan di Jakarta Selatan. Ia menambahkan, TNI sedang menyusun langkah hukum untuk menindaklanjuti temuan itu.
Namun, langkah ini menuai kritik keras dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Peneliti ICJR, Iqbal M. Nurfahmi, menegaskan bahwa tindakan TNI berpatroli di media sosial hingga melaporkan dugaan tindak pidana ke polisi adalah bentuk penyimpangan kewenangan.
“TNI tidak dirancang untuk menjadi aparat penegak hukum. Tugas TNI adalah menjaga pertahanan negara, bukan melakukan penyelidikan tindak pidana,” tegas Iqbal dalam keterangan tertulis.
Menurut Iqbal, tindakan Satuan Siber TNI tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 30 ayat (3), tetapi juga melanggar mandat yang tertuang dalam Undang-Undang TNI.
Mandat TNI Hanya untuk Pertahanan
ICJR mengingatkan bahwa TNI memang memiliki peran penting dalam menghadapi ancaman siber. Tetapi, mandat itu jelas terbatas hanya pada sektor pertahanan negara. TNI tidak memiliki kewenangan untuk berpatroli mencari tindak pidana umum di ruang digital.
Hal ini, menurut Iqbal, adalah ranah Polri berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan kata lain, ketika TNI mengambil alih tugas penyelidikan, maka ada risiko tumpang tindih kewenangan yang bisa membahayakan sistem hukum dan demokrasi.
Ancaman terhadap Demokrasi dan HAM
ICJR menilai, langkah TNI ini tidak sekadar persoalan teknis hukum, tetapi menyentuh akar demokrasi dan hak asasi manusia. “Tindakan semacam ini berpotensi membungkam kritik, padahal kebebasan berpendapat adalah salah satu pilar demokrasi,” ujar Iqbal.
Karena itu, ICJR mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menertibkan TNI, khususnya Satuan Siber, agar tidak melakukan langkah-langkah yang keluar dari mandat konstitusi.
Konsultasi dengan Polda Metro Jaya
Meski banjir kritik, Brigjen Juinta menegaskan bahwa TNI tidak bertindak sewenang-wenang. Ia menyatakan langkah hukum yang akan ditempuh merupakan bentuk ketaatan terhadap aturan.
“Sebagai warga negara yang taat dengan hukum, kami tentunya mengedepankan hukum. Atas dugaan tindak pidana tersebut, kami akan melakukan langkah-langkah hukum,” kata Juinta.
Namun, pernyataan itu justru menimbulkan tanda tanya. Sejauh mana TNI berhak menindak warga sipil di luar konteks pertahanan negara? Apakah langkah ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia?
Situasi ini menempatkan Presiden Prabowo dalam posisi penting. Di satu sisi, ada TNI yang ingin menunjukkan ketegasan dalam menjaga ruang digital. Di sisi lain, ada masyarakat sipil yang menilai tindakan tersebut bisa menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil.
Bagi ICJR, pilihan Presiden jelas: menegakkan konstitusi, memastikan TNI kembali pada tugas utamanya sebagai penjaga pertahanan, dan menyerahkan urusan hukum pidana kepada aparat penegak hukum yang sah, yaitu Polri.




