Indeks News – Pagi itu, Jumat 17 Agustus 1945, tepat pukul 10.00 waktu Tokyo, suasana Jakarta berubah selamanya. Di halaman sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur 56, Ir. Soekarno dengan suara lantang membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di sampingnya berdiri Mohammad Hatta. Dua nama itu kemudian ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.
Rumah yang menjadi saksi bisu kelahiran bangsa ini ternyata memiliki kisah panjang dan penuh liku. Awalnya, rumah tersebut adalah milik seorang Belanda bernama Mr. Jhr. P.R. Feith. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih rumah itu dan menyerahkannya kepada Soekarno. Menurut catatan Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po, rumah tersebut memang dipersiapkan Jepang untuk Soekarno agar bisa ditempati.
Dari Rumah Belanda Menjadi “Gedung Republik”
Seiring perjalanan waktu, rumah Pegangsaan Timur 56 mengalami berbagai fungsi. Pernah dipakai Belanda sebagai rumah pertemuan, bahkan juga menjadi rumah tawanan. Setelah Proklamasi, rumah ini berubah menjadi “Gedung Republik”.
Pada tahun 1948, pemilik aslinya yang baru kembali dari Belanda memutuskan menjual rumah itu seharga 250 ribu gulden. Pemerintah Republik Indonesia kemudian membelinya, seperti tertulis dalam pemberitaan Sin Po tanggal 5 Juli 1948:
“Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik.”
Meski begitu, hingga kini belum ada bukti kuat terkait klaim bahwa rumah tersebut merupakan sumbangan dari seorang pengusaha keturunan Arab bernama Faradj Martak.
Perjalanan Menuju Proklamasi
Momentum proklamasi tidak terjadi begitu saja. Rangkaian peristiwa besar dunia mendahuluinya.
- 6 dan 9 Agustus 1945: Bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, membuat Jepang menyerah kepada Sekutu.
- 9–12 Agustus 1945: Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Dalat, Vietnam, bertemu Marsekal Terauchi. Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia, meski sempat diulur hingga 24 Agustus.
- 16 Agustus 1945: Terjadi Peristiwa Rengasdengklok, ketika golongan muda mendesak Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang.
- Malam 16–17 Agustus 1945: Naskah proklamasi disusun di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol. Soekarno menulis konsep, Hatta memberi masukan, dan Soebardjo ikut menyempurnakan. Sayuti Melik kemudian mengetik naskah tersebut dengan mesin ketik pinjaman dari perwakilan Angkatan Laut Jerman.
Awalnya, pembacaan proklamasi direncanakan di Lapangan Ikada. Namun, alasan keamanan membuat lokasi dipindahkan ke kediaman Soekarno di Pegangsaan Timur 56. Keputusan itu ternyata menjadi penentu: rumah tersebut kini diabadikan sebagai titik lahirnya Indonesia merdeka.
Perjuangan Pasca Proklamasi
Proklamasi hanyalah awal. Setelah 17 Agustus 1945, Indonesia masih harus berjuang melawan Belanda yang ingin kembali berkuasa. Revolusi Nasional pun pecah, penuh pertempuran bersenjata dan diplomasi panjang.
Baru pada tahun 1949, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia melalui penyerahan di Den Haag. Meski begitu, pada tahun 2005 Belanda akhirnya menerima secara de facto bahwa kemerdekaan Indonesia dimulai pada 17 Agustus 1945. Namun, pengakuan resmi masih menyisakan perdebatan hingga kini.
Warisan Abadi 17 Agustus
Tanggal 17 Agustus 1945 kini menjadi hari libur nasional yang ditetapkan sejak 18 Juni 1946. Setiap tahun, rakyat Indonesia memperingatinya dengan upacara bendera, doa, dan rasa syukur.
Rumah Pegangsaan Timur 56 sendiri telah menjadi monumen nasional. Di tempat inilah bangsa Indonesia memulai babak baru: dari negeri jajahan menjadi negara merdeka yang berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia.
Sejarawan Indonesia, Sukotjo, dalam wawancara tahun 2013 menegaskan pentingnya pengakuan resmi Belanda atas tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, tanggal itu bukan sekadar angka, melainkan simbol persatuan, pengorbanan, dan tekad untuk berdiri di atas kaki sendiri.




