Bupati Pesisir Selatan ( Pessel ), Sumatera Barat, Rusma Yul Anwar meminta penegak hukum menindak pelaku ilegal loging yang menjadi pemicu bencana banjir di Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan.
Menurutnya, banyak pihak menduga salah satu pemicu utama banjir di Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan dikarenakan maraknya penebangan liar di area itu. Akibatnya, tutupan hutan menjadi rusak, sehingga berpengaruh pada resapan air.
“Jika memang ditemukan, kami minta tindak sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Bupati saat memimpin apel perdana usai libur lebaran 1442 H di Painan, Senin 17 Mei 2017.
Selain itu, Bupati juga menginstruksikan Bappeda dan Dinas Lingkungan Hidup mengkaji pemicu lainnya banjir di Ranah Ampek Hulu Tapan.
Upaya itu, lanjut bupati, guna penanganan yang lebih tepat. Karena itu, perlu koordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda). “Saya ingin ini segera tuntas,” tegas bupati.
Secara terpisah, Masyarakat Ranah Ampek Hulu Tapan juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beserta penegak hukum menindak tegas praktek pembalakan liar di daerah mereka.
Aktivis Lingkungan Hidup Pesisir Selatan, Yaparudim mengungkapkan, aksi para penjahat hutan itu seakan tidak tersentuh hukum. Tak sedikit dampak kerugian masyarakat yang timbul akibat perbuatan mereka.
“Mereka sepertinya kebal hukum. Bahkan ada indikasi dibekingi aparat,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, penebangan hutan tak hanya terjadi di kawasan hutan adat saja. Akan tetapi, sudah merambah ke Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang ada di Pesisir Selatan .
Penggundulan hutan terlihat kian masif. Belasan Serkel tanpa izin beroperasi secara terang-terangan. Ratusan kubik kayu hasil curian dari hutan Tapan keluar setiap hari.
Akibatnya, daerah tersebut menjadi rawan terhadap bencana ekologi. Hulu sungai rusak. Sudah tak terhitung berapa kali banjir terjadi. Kerugian materil terus saja bertambah. Sawah dan ladang warga turut menjadi korban.
“Padahal, lahan pertanian itu merupakan tumpuan penghidupan warga sekitar,” terang pria yang juga salah seorang penggiat konservasi itu.
Hal serupa juga disampaikan Aldasman, salah seorang tokoh pemuda Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan. Menurutnya, sejak awal 2021, sedikitnya sudah 4 kali terjadi banjir. Kondisi paling parah pada 28 Maret 2021, Ribuan jiwa mengungsi.
Infrastruktur dan fasilitas umum rusak. Ratusan Hektare sawah dan perkebunan masyarakat gagal panen. Bahkan, 3 unit jembatan yang menuju area produksi pertanian kini rusak, sehingga tidak bisa dilewati.
“Ratusan siswa terpaksa libur sekolah. Padahal mereka mau menghadapi Ujian Akhir Nasional,” ujar Aldasman.
Sementara, Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Unit IX Kabupaten Pesisir Selatan , Mardianto mengakui salah satu pemicu terjadinya banjir adalah maraknya penebangan hutan tanpa izin.
Menurutnya penggundulan hutan, utamanya di kawasan TNKS dipicu beberapa faktor. Selain penebangan tanpa izin, faktor lainnya adalah konversi hutan dari hutan negara menjadi hutan adat.
Kemudian pembukaan lahan untuk ladang dan kebun yang dilakukan warga di sekitar kawasan hutan yang meluas hingga ke kawasan TNKS. “Nah, semua itu adalah faktor utama pembabatan hutan,” jelasnya.
Karena itu, ia menambahkan pihaknya kini terus melakukan upaya sosialisasi pada masyarakat tentang pentingnya menjaga kawasan hutan. Tak hanya itu, KPHP bakal meningkatkan patroli di sekitar kawasan hutan.
Seperti diketahui, hingga kini banjir terus mendera sejumlah nagari di Kecamatan Ranah IV Hulu Tapan. Banjir mulai terjadi sejak 10 Mei 2021.
Kondisi terparah terdapat di Nagari Limau Purut dan Talang Balarik, Binjai dan Nagari Kampung Tangah. Banjir mengakibatkan 1.024 buah terendam. 2 rumah rusak berat, 3 hanyut dan 11 buah fasilitas umum rusak.(Kay)