Gelombang panas ekstrem yang kini tengah membakar sebagian besar wilayah Asia termasuk Indonesia, menimbulkan kegerahan yang sangat luar biasa bahkan sengatannya terasa hingga kulit.
Akibat gelombang panas ekstrem yang tidak hanya terjadi di Indonesia ini justru lebih parah membakar beberapa negara tetangga.
Ternyata ada beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadinya gelombang panas ekstrem. Dikutip dari akun resmi Instagram BMKG, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ( BMKG) mengungkapkan ada 5 faktor yang membuat cuaca sangat panas saat ini.
-
Penyebab pertama adalah dinamika atmosfer yang tidak biasa.
-
Kedua, sedang terjadi gelombang panas ekstrem di wilayah Asia. Menurut BMKG, suhu panas bulan April di wilayah Asia selatan secara klimatologis dipengaruhi oleh gerak semu matahari, lonjakan panas tahun 2023 terparah.
-
Penyebab ketiga karena tren pemanasan global dan perubahan iklim. Gelombang panas ‘heatwave’ semakin berisiko berpeluang terjadi 30 kali lebih sering.
-
Sedangkan pemicu keempat adalah dominasi monsun Australia atau dengan kata lain Indonesia memasuki musim kemarau.
-
Penyebab terakhir, intensitas maksimum radiasi matahari pada kondisi cuaca cerah dan kurangnya tutupan awan.
Tangerang Selatan menjadi wilayah dengan suhu paling panas di Indonesia. Suhunya mencapai 37,2 derajat celcius.
Indonesia tidak mengalami ‘heatwave’
Beberapa negara benua Adia seperti India dan China mengalami ‘heatwave’ atau gelombang panas ekstrem.
Akan tetapi wilayah Indonesia tidak mengalami ‘heatwave’, meski ada beberapa daerah yang mencatatkan suhu harian tertinggi.
“Ciputat, Tangerang Selatan mencatatkan suhu tertinggi 37,2 derajat celsius pada 17 April 2023 kemarin,” tulis BMKG di akun instagram resminya, Senin (24/4/2023).
Negara Asia lainnya juga tercatat ada yang mengalami gelombang panas ekstrem adalah Bangladesh tepatnya di kota Kumarhkali, Kustia yakni 51,2 derajat celsius pada 17 April 2023 lalu.
Bahkan di China dan India beberapa sekolah ditutup karena adanya cuaca panas ekstrem dan memunculkan ‘heatwave’.
Cuaca Panas Sampai Kapan?
BMKG memprediksi sejumlah wilayah di Indonesia mengalami musim kemarau yang menyebabkan adanya cuaca panas.
Tak hanya itu, cuaca panas juga dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang turun selama musim kemarau diprediksi akan normal hingga lebih kering dibandingkan biasanya.
Pada sebagian besar wilayah diperkirakan akan mengalami Awal Musim Kemarau 2023 pada kisaran bulan April hingga Juni 2023.
Perkiraan musim kemarau tersebut terjadi lebih awal dibandikan pada periode normal 1991 – 2020. Sementara itu, puncak musim kemarau 2023 diprediksikan terjadi pada Agustus 2023.
Adapun durasi musim kemarau 2023 di sebagian besar wilayah Indonesia umumnya diprakirakan antara 9 –20 dasarian yaitu seluas 824.811km2(43,06 persen).
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, telah membagi persentase wilayah di Indonesia yang terdampak musim kemarau tersebut.
“Sejumlah 41 persen wilayah memasuki musim kemarau maju atau lebih awal dari normalnya. 200 Zona Musim (ZOM) atau 29 persen wilayah memasuki musim kemarau sama dengan normalnya. Dan 95 ZOM atau 14 wilayah memasuki musim kemarau mundur atau lebih lambat dari normalnya,” ungkap Kepala BMKG, dalam keterangan resmi yang dikeluarkan pada Selasa (7/3/2023).
Adapun pembagian wilayah berdasarkan waktu datangnya musim kemarau yakni sebagai berikut:
Musim Kemarau pada April 2023
- Bali
- Nusa Tenggara Barat
- Nusa Tenggara Timur
- Jawa Timur
Musim Kemarau pada Mei 2023
- Jawa Tengah
- Yogyakarta
- Banten
- Pulau Sumatera bagian selatan
- Papua bagian selatan
Musim Kemarau pada Juli 2023
- Jakarta
- Sebagian kecil Pulau Jawa
- Sumatera Selatan
- Kepulauan Bangka Belitung
- Riau
- Sumatera Barat
- Pulau Sulawesi bagian utara
Imbauan BMKG
Terkait musim kemarau ini, BMKG mengimbau kepada institusi terkait, dan seluruh masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau.
Terutama di wilayah yang mengalami sifat musim kemarau bawah normal atau lebih kering dibanding biasanya.
Pasalnya, menurut Dwikorita, wilayah tersebut memiliki tingkat bencana kekeringan yang lebih tinggi.
“Wilayah tersebut diprediksi mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan air bersih.”
“Perlu aksi mitigasi secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak musim kemarau yang diperkirakan akan jauh lebih kering dari tiga tahun terakhir,” ungkap Dwikorita.
Selain itu, BMKG juga mengimbau kepada Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat untuk dapat lebih optimal melakukan penyimpanan air pada akhir musim hujan ini untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya di masyarakat melalui gerakan memanen air hujan.