Persoalan konflik gajah liar dengan manusia di sejumlah pekon di Kecamatan Suoh dan Bandarnegeri Suoh, Kabupaten Lampung Barat, hingga saat ini belum kunjung usai Kawanan gajah itu kerap turun gunung, dan merangsek hingga ke lahan serta pemukiman penduduk terutama yang berada di sekitar kawasan.
Bahkan beberapa hari lalu, sekelompok hewan bertubuh tambun itu telah memporak-porandakan sejumlah bangunan gubuk milik warga di zona destinasi wisata, Kawah Nirwana masuk dalam kawasan internal habitat gajah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Sebanyak tujuh lapak / gubuk pedagang yang tergabung dalam Pokdarwis Jagad Endah Lestari Pekon Sukamarga, Suoh selaku pengelola kawasan wisata setempat, rusak dihancurkan kawanan gajah liar.
“Ada tujuh bangunan lapak pedagang yang telah rusak karena dirubuhkan kawanan gajah di lokasi kawasan wisata Kawah Nirwana,” kata Cucu, Ketua Pokdarwis Jagad Endah Lestari Pekon Sukamarga, Suoh.
Bangunan yang telah dirusak di antaranya yakni pos tiket, gapura, pos pemandu, tempat parkir motor, warung koperasi, warung milik Naryo, warung milik Sardaya, warung Sumanto, payung tempat istirahat, dan kursi serta pagar lokasi bangunan lapak.
Tidak hanya itu saja, sebelumnya juga sudah banyak kerugian material yang ditimbulkan akibat ulah dari kawanan gajah liar. Selain berupa bangunan, kawanan gajah tersebut juga merusak tanaman seperti tanaman padi, kelapa, pisang dan lainya yang menjadi sumber pencaharian bagi warga sekitar.
Tidak sedikit warga yang mengaku telah banyak mengalami kerugian karena tanamanya diinjak dan dimakan gajah. Kemudian bangunan gubuk warga di lahan pertanian juga dirusak. Gajah-gajah itu selalu menjadi teror bagi warga sekitar.
Beberapa pekon yang sering didatangi kawanan gajah liar itu yakni Sidorejo, Pekon Tuguratu, Sukamarga, Gunungratu, Roworejo, Tembelang, dan Hantatai.
Bahkan konflik gajah liar dengan manusia di lokasi itu sudah menjadi fenomena rutin tahunan dan telah menjadi momok yang menakutkan bagi warga sekitar yang menjadi daerah perlintasanya.
“Meskipun telah digiring ke dalam hutan belantara namun keberadaan kawanan gajah itu masih kembali turun gunung dan mendekati lahan warga,” terangnya.
Di sisi lain terjadinya konflik satwa liar antara gajah dengan manusia di lokasi itu dikarenakan secara umum banyak habitat satwa liar kawasan TNBBS telah berubah menjadi lahan perkebunan, dan permukiman warga.
Sebagian besar kawasan yang menjadi habitat gajah itu telah berubah menjadi area perkebunan. Bahkan ada yang sudah menjadi pemukiman/umbul.
“Sampai saat ini belum ada solusi untuk penyelesaian konflik gajah-manusia di dua kecamatan itu,” ujarnya.
Salah satu Polhut TNBBS Wilayah II Liwa, Sadatin, mengaku kalau mau menegakkan aturan dan melakukan tindakan tegas terhadap warga yang telah berkebun dan berdiam disana, itu bisa saja dilakukan tetapi itu tidak akan menyelesaikan masalah karena menyangkut ekonomi masyarakat.
Sampai saat ini upaya yang dilakukan baru sebatas penggiringan tetapi gajah itu selalu kembali lagi karena kawasan itu memang merupakan habitatnya sejak dulu. Terdapat dua kelompok kawanan gajah yaitu Kelompok Bunga yang saat ini telah berjumlah 14 ekor, dan Kelompok Jambul Tiga Ekor.
Kedua kelompok itu kerap keluar dan masuk kawasan. Ketika keluar dari kawasan, petugas melakukan upaya blokade dan penggiringan. Namun setiap dilakukan penggiringan, kawanan gajah itu masih kembali turun.
Untuk mengantisipasi sekaligus penanganan konflik satwa itu, pihak kecamatan dan pekon bersama lintas terkait juga telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk penanganan konflik gajah yang dilengkapi dengan peralatan dan pelatihan penghalauan.
Namun penanganan konflik itu sampai saat ini sifatnya baru sebatas upaya penggiringan saja dan belum ada penanganan secara permanen.
“Masyarakat di sejumlah pekon yang kerap didatangi dua kelompok kawanan gajah itu sangat berharap ada tindakan nyata dari pemerintah tentang bagaimana konflik dengan satwa itu segera berakhir yaitu kawanan gajah itu segera menjauh dan tidak datang lagi,” tegasnya. (Kay)