Sejak penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi dimulai diterapkan, hingga kini protes masyarakat tuk kunjung padam, bahkan kian meruncing . Wali murid berdemo dan protes pun terjadi di berbagai daerah.
Karena sistem zonasi membuat sejumlah siswa tersingkir dari kuota penerimaan peserta didik baru atau PPDB sekolah tujuan.
Protes luas itu menunjukkan adanya kelemahan sistem. Apalagi diperkuat laporan dari berbagai daerah bahwa sistem zonasi tidak saja membuat pendaftar di sekolah tertentu membeludak, tapi di sisi lain banyak juga sekolah yang kekurangan siswa.
Berarti, sistem zonasi belum menghasilkan distribusi yang baik bagi peserta didik. Sebagian besar orangtua tampak frustrasi ketika berhadapan dengan sistem yang harus mereka hadapi dalam rangka keberlansungan pendidikan anak-anak mereka.
Padahal sistem yang digadang-gadangkan untuk pemerataan akses pendidikan dan sudah memasuki tahun ketujuh penerapannya, justru kondisinya kian tak menentu.
Ini sesungguhnya merupakan tamparan terbesar terhadap sistem zonasi yang dipaksakan untuk diterapkan. Perbaikan berjalan lamban dan pemerintah harus mengakui hal tersebut karena yang menjadi taruhannya adalah masa emas pembelajaran siswa.
Enam tahun berarti telah ada enam generasi peserta didik yang bisa jadi justru dirugikan dengan sistem ini.
Dalih bahwa sistem tersebut sudah menolong banyak anak ekonomi lemah dalam mengakses fasilitas justru tidak dapat diterima sepenuhnya sebab akses pendidikan, berikut yang berkualitas, semestinya hak setiap anak.
Bukan hanya yang berekonomi lemah, melainkan juga seluruh tingkat ekonomi. Maka, evaluasi dan perbaikan besar serta cepat harus dilaksanakan.
Pemerintah juga harus paham betul bahwa berlarutnya polemik sistem zonasi sama juga dengan bunuh diri. Bagaimanapun mulianya sistem itu, jika tidak berjalan, tetaplah omong kosong.
Kebijakan pemerataan akses pendidikan hanya bisa solid jika dibangun dengan berdasarkan data riil ketersediaan sekolah dan anak usia sekolah.
Keberadaan sistem kartu identitas anak (KIA) sejak beberapa tahun lalu terlihat pula belum termanfaatkan atau terkorelasi dengan baik untuk distribusi fasilitas pendidikan.
Semestinya KIA itu menjadi mata pemerintah untuk cetak biru akses pendidikan kita. Basis data yang mukhtahir pula yang akan membuat sistem zonasi menjadi logis.
Selama ini, selain untuk pemerataan akses pendidikan, terutama bagi anak ekonomi lemah yang selama ini tersingkirkan, pemerintah telah menjelaskan bahwa sistem zonasi akan membuat permasalahan pendidikan di tiap-tiap tempat lebih cepat terdeteksi dan teratasi.
Sayangnya, janji itu masih terdengar muluk karena hingga kini untuk identifikasi permasalahan distribusi fasilitas saja terlihat kewalahan.
Contoh gamblangnya ialah banyaknya SMP dan SMA yang kekurangan murid. Hal serupa terjadi di beberapa daerah.
Sungguh dipertanyakan ketika dalam enam tahun masalah tersebut tidak kunjung teratasi. Maka, kita pun mempertanyakan soal pelaksanaan sistem rotasi guru yang dijanjikan juga akan terwujud dengan baik berkat sistem zonasi.
Kesalahannya bisa jadi bukan karena sistem, melainkan hal-hal pendukung yang memang belum siap atau disiapkan. Sistem itu pun tidak bisa sekadar memperjuangkan satu kelompok, tetapi harus pula memastikan seluruh kelompok mendapatkan hak.
Sistem Zonasi Perlu Dikaji Ulang
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani menyoroti sejumlah permasalahan yang timbul pada pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Pihaknya meminta untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut.
“Menurut saya pemerintah tidak usah ragu, tarik kembali kebijakan ini untuk dilakukan evaluasi dan dilakukan penyempurnaan,” ujar Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani saat ditemui di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023.
Menurut Muzani, kebijakan zonasi PPDB sebenarnya memiliki tujuan awal yang baik untuk pemerataan sekolah favorit. Namun pada praktiknya justru menimbulkan persoalan.
Persoalan itu meliputi tidak adanya sekolah negeri di suatu wilayah, siswa titipan dari zona yang tidak sesuai ketentuan, siswa berprestasi yang terkendala persyaratan usia. Bahkan sampai pada kasus manipulasi data.
Muzani juga menilai pada kenyataannya, pemerataan sekolah favorit belum berjalan karena tidak ditunjang dengan perbaikan sarana prasarana. Ia berpendapat perlu dilakukan evaluasi dan penyempurnaan soal kebijakan zonasi PPDB.
Disadur dari: mediaindonesia.com