Aliansi Mentawai Bersatu (AMB) yang merupakan gabungan organisasi pemuda meminta DPR RI merevisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat.
Aliansi Mentawai Bersatu yang terdiri dari 11 organisasi mahasiswa, pelajar dan masyarakat itu menilai undang-undang yang telah ditandatagani Presiden Republik Indonesia itu dinilai diskriminatif terhadap masyarakat Kabupaten Kepualauan Mentawai.
Aliansi yang terdiri dari 11 organisasi mahasiswa, pelajar, dan masyarakat itu meminta UU tersebut segera direvisi.
“Kita minta UU tersebut segera direvisi karena tidak mencantumkan adanya budaya Mentawai dalam UU itu,” kata Ketua AMB Yosafat Saumanuk beberapa waktu lalu.
Yosafat menyorot keberadaan Pasal 5 Huruf c dalam UU yang telah ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo itu. Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Provinsi Sumbar memiliki karakteristik yaitu, “adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku.
“Serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatra Barat”.
Yosafat menilai, keberadaan pasal ini mengerdilkan dan mengucilkan budaya Mentawai yang ada dan eksis di Sumbar.
“Kami mempertanyakan UU tersebut yang seolah-olah menganggap kami tidak ada di Provinsi Sumbar,” kata Yosafat.
Yosafat menegaskan, masyarakat Mentawai merasa didiskriminasi secara budaya dengan tidak memasukkan suku Mentawai sebagai karakteristik dari UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar.
Dia menyampaikan, Provinsi Sumbar terdiri atas 19 kabupaten/kota yang memiliki budaya dan karateristik masing-masing. Di Sumbar daratan, berkembang kebudayaan Minangkabau dengan falsafah adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah.
Namun, Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki kebudayaan dengan ciri khasnya tersendiri. Kearifan lokal yang berkembang di Mentawai dikenal dengan Arat Sabulungan, lalu rumah adat disebut Uma, Sikerei sebagai tabib, kebudayaan Patiti yaitu menato/merajah tubuh, dan kearifan lokal lainnya serta memiliki sosiokultural yang berbeda.
“Bahkan salah satu kebudayaan Mentawai yaitu tato mentawai ditetapkan UNESCO menjadi Warisan Budaya Tak Benda dari Indonesia pada tahun 2014,” kata Yosafat.
Selain meminta revisi UU itu, pihaknya juga segera menyurati Presiden Joko Widodo. “Kita ingin revisi UU itu. Budaya Mentawai harus dimasukkan ke dalam UU itu, sebab Mentawai bagian dari Sumbar,” ujar Yosafat.
Menanggapi hal itu, Gubernur Sumbar Mahyeldi mengatakan memang ada peluang untuk itu. “Ya tidak apa-apa, kalau ada yang merasa, kita terbuka untuk itu. Perlu diketahui di Undang-undang tersebut sudah jelas bahwa Sumbar ada 19 kabupaten kota, ada Mentawai di sana,” ungkapnya, usai rapat paripurna di DPRD Sumbar, Selasa (16/8/2022).
Lebih lanjut Mahyeldi menjelaskan, di Undang-undang tersebut juga ada bunyi kearifan lokal kita adalah “adat basandi syarak dan adat salingka nagari” tidak ada yang ditinggalkan.
Terkait penilaian ada diskriminasi dan sebagainya, Mahyeldi membantah hal itu. “Tidak ada diskriminasi, tidak boleh Undang-Undang diskriminasi. Itu semuanya dalam kerangka kesatuan Republik Indonesia,” jelasnya.
Tak hanya itu, Mahyeldi mengatakan, ada yang mengatakan Sumbar akan menjadi Aceh berikutnya. “Padahal tidak, Aceh kan punya Undang-Undang, ada pasal-pasal di dalamnya sudah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia,” katanya.
“Kita upayakan, bagaimana kita memberikan hak-hak pada seluruh etnis yang ada di suatu daerah. Kalau kita lihat Sumbar sudah sangat bagus akulturasinya. Menurut saya sumbar paling baik akulturasinya,” imbuhya.
“Saya kira perihal merivisi, memang ada peluang itu. Itu kalau mau direvisi ke MK. Itu urusan pusat kan Undang-Undang. Saya kira sebaiknya dibaca lebih utuh. Jangan dipahami sebagian saja,”ujarya.
Mahyeldi juga mengimbau para pengamat untuk jangan mengamati sebagian, tapi jelaskan secara komprehensif dan semua penafsiran jangan satu ayat atau setengah ayat.
“Nanti seperti orang melihat gajah. Beda-beda jadinya, yang melihat kaki gajah, atau telinga gajah, atau belalainya. Mari kita cerdaskan masyarakat kita dengan analisa dan pemikiran. Ini tugas intelektual menjelaskan itu semua,” pungkasnya.