Pada masalah awal penekanan pemerintah untuk menjadikan Pancasila sebagai asas dalam berorganisasi, terjadi perdebatan panjang dalam tubuh NU ketika Muktamar di Situbondo pada 1984. Banyak para kiai yang mempersoalkan, siapa tuan rumah di Indonesia? Lebih dulu mana Islam dengan Pancasila, sehingga umat Islam harus berasaskan Pancasila?
Ketika setiap sila dalam Pancasila dikupas, tidak satu pun kiai yang membantah. Maka disepakati bahwa nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan sama sekali dengan ajaran-ajaran Islam. Sejak saat itu, NU menerima Pancasila dan ormas pertama yang menerima Pancasila sebagai asas
“Pancasila adalah amanat dari Muktamar Situbondo. Amanat ini harus dijalankan oleh seluruh pengurus NU dari tahun ke tahun. Maka jika hari ini Fatayat menjadi kader Penggerak Pancasila, harus dijalankan dengan sebaik-baiknya,” kata Ketua Tanfidziyah PWNU DIY, Dr. H. Ahmad Zuhdi Muhdlor, S.H., M.Hum dalam Workshop Pembinaan Ideologi Pancasila untuk Perempuan Penggerak Masyarakat yang diselenggarakan oleh PW Fatayat NU DIY bekerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Hotel Ros In Yogyakarta pada Sabtu (10/09/2022) siang.
Untuk penanaman Pancasila sejak dini, Kiai Zuhdi menyatakan bahwa ibu sebagai madrasah pertama bagi anak adalah pintu paling tepat. Hal yang kemudian perlu dicari adalah caranya. Di antaranya adalah dengan cara yang sistematis. Menurutnya, banyak hal yang terlihat kacau dikarenakan tidak sistematis.
“Di sisi lain, untuk menjadi bangsa yang Pancasilais, kita perlu menerapkan sanksi otonom. Kalau kita punya salah, kita menghukum diri sendiri. Bukan menunggu dihukum oleh pihak berwajib. Sebab, kesalahan itu tidak selalu bagi yang sudah dijatuhi hukuman. Dengan cara demikian, setiap warga negara akan bertanggung jawab pada diri dan kesalahannya sendiri sebelum dijatuhi hukuman,” kata dosen Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Dalam kesempatan tersebut, hadir sebagai pembicara adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dan Plt Direktur Pelaksanaan Diklat BPIP RI, Dr. Mahnan Marbawi, M.A.
Menurut Gus Hilmy, panggilan akrab Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A., merunut sejarahnya, gerakan perempuan menjadi bagian dari Tonggak Kebangkitan Bangsa. Hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta di Gedung Joyodipuran Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928. Atas peristiwa ini dan juga Kongres Boedi Oetomo dua puluh tahun sebelumnya, Yogyakarta juga disebut sebagai kota pergerakan.
Peran perempuan lain yang patut dicatat, menurut pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut, adalah turut berperan sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo dan Raden Ayu Maria Ulfah Santoso. Juga perlu dicatat, Ibu Khusna, istri dari Bapak Ruswo. Akrabnya disapa Ibu Ruswo. Namanya diabadikan sebagai nama jalan. Negara memberikan pengakuan yang besar dengan memberikannya gelar Pahlawan.
“Peran perempuan bagi negara tidak pernah dipinggirkan. Ada banyak pahlawan perempuan. Penghargaan kepada perempuan itu tercermin dalam nilai-nilai Pancasila yang juga mengandung nilai-nilai feminis,” ujar Gus Hilmy.
Sebagai turunan dari nilai-nilai Pancasila, peraturan perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan, menurut Gus Hilmy, tercermin dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008), UU Nomor 12 tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan lain sebagainya.
Selain itu, Gus Hilmy juga mengingatkan peran perempuan, baik secara peran dasar maupun sosial. Peran tersebut terwujud dalam perempuan sebagai madrasah pertama, perempuan sebagai istri, perempuan sebagai anak, dan perempuan di ranah publik.
Sementara itu, Dr. Mahnan membongkar permasalahan dasar penanaman nilai-nilai pada anak. Hampir semua orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada gadget agar lebih leluasa melakukan banyak hal.
“Padahal, anggota Fatayat adalah kelas menengah strategis, ekonomi relatif mapan, dan memiliki pendidikan cukup. Oleh sebab itu, yang paling tepat mendidik anak-anak adalah anggota Fatayat sendiri agar generasinya menjadi generasi yang strategis,” kata pria yang juga sebagai Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) tersebut.