Analisis Bareksa, dalam 10 tahun terakhir, rata-rata kinerja IHSG di bulan Agustus tercatat negatif 1,7 persen. Sementara jika dilihat dalam 5 tahun terakhir, IHSG masih mencatat kenaikan sekitar 1,2 persen.
Sehingga tingginya fluktuasi IHSG di bulan Agustus menurut Bareksa merupakan hal wajar. Namun beruntung, IHSG mampu menutup Agustus 2021 dengan kenaikan 1,32 persen di level 6.150,3.
“Fluktuasi IHSG akibat fokus pelaku pasar terhadap kebijakan ekonomi di Amerika Serikat serta perkembangan kasus Covid-19 dalam negeri,” ujar Chief of Research and Business Development PT Bareksa Portal Investa (Bareksa), Ni Putu Kurniasari dalam keterangan tertulis, Rabu (6/10/21).
Selain melihat dari perkembangan ekononomi dalam negeri, Bareksa melihat IHSG juga mengalami fluktuasi karena investor tengah menanti arah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed).
Melihat kenaikan tersebut Bareksa menilai Investor bisa mempertimbangkan reksadana dolar AS berbasis saham teknologi yang diprediksi akan berkinerja baik.
“Investor khawatir pengetatan kebijakan moneter The Fed akan lebih cepat dari perkiraan, menyusul data inflasi dan tingkat pengangguran AS yang membaik,” ujar Ni Putu.
Menurut Ni Putu, inflasi AS per Juli 2021 tumbuh 5,4 persen secara tahunan (YoY), di atas target The Fed 2 persen year-over-year (YoY). Selain itu, data ketenagakerjaan AS terus membaik, didorong pembukaan ekonomi dan vaksinasi. Meskipun, penyebaran Covid-19 Varian Delta juga membawa kekhawatiran baru terhadap pemulihan ekonomi AS.
Direktur Bareksa Prioritas, Ricky Rachmatulloh menambahkan ada pertanda The Fed akan memulai kebijakan tapering off atau pengetatan kebijakan moneternya sebelum akhir tahun ini.
“Namun sangat minimal sekali korelasi antara tapering dengan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed (Fed Fund Rate) lebih awal kali ini,” papar Ricky.
Pernyataan ini juga terefleksikan pada pertemuan Agustus, di mana The Fed menyatakan baru mulai menerapkan tapering atau pengurangan pembelian obligasi pemerintah AS (US Treasury) setidaknya pada akhir tahun ini. Hingga saat ini The Fed masih menerapkan program pembelian kembali obligasi senilai US$120 miliar per bulan.
Putra menambahkan wacana tapering juga telah dikonfirmasi Chairman The Fed, Jerome Powell dalam pertemuan simposium Jackson Hole mendatang. Meskipun akan ada tapering, namun The Fed masih akan tetap menjaga suku bunga di level rendah.
Menurut Ricky, kebijakan pembatasan sosial oleh pemerintah berbagai negara, termasuk Indonesia, telah mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam bertransaksi ke era new economy. Mayoritas transaksi masyarakat mulai dilakukan berbasis teknologi.
Ini terbukti dengan naiknya transaksi e-commerce yang melesat 63 persen secara tahunan pada semester I 2021 menjadi Rp186,75 triliun. Transaksi digital banking juga melonjak 39 persen menjadi Rp17,901 triliun.
“Hal ini turut mendorong lonjakan saham sektor teknologi di Bursa Efek Indonesia hingga 500 persen sejak awal tahun,” Ricky menjelaskan.
Mayoritas saham berbasis teknologi seperti telekomunikasi dan bank digital membukukan keuntungan yang signifikan. Kemudian penawaran umum perdana saham (IPO) perusahaan e-commerce seperti PT Bukalapak Tbk (BUKA) dan rencana IPO GoTo (hasil merger Gojek & Tokopedia) yang diproyeksikan dapat mendongkrak valuasi IHSG.
Ricky menjelaskan di tengah masih tingginya ketidakpastian ekonomi serta volatilitas pasar, investor dengan profil risiko agresif dan moderat-agresif disarankan agar jeli melihat situasi.
“Aliran dana asing masuk Rp6 triliun sebulan terakhir (per 28 September) ke saham-saham berkapitalisasi besar” Ricky memaparkan.
“Investor dengan profil risiko moderat dapat mempertimbangkan diversifikasi ke reksadana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi dengan rating baik,”tambahnya.
Menurut Putra, rendahnya suku bunga AS juga membuat prospek reksa dana Dolar AS kian menarik. Selain itu, pergeseran gaya hidup ke arah New Economy seiring adaptasi gaya hidup baru pasca pandemi, membuat sektor teknologi lebih tahan ketika tapering diberlakukan dibandingkan sektor siklikal.
Berdasarkan daftar reksadana di Bareksa, posisi 10 besar reksa dana dolar AS imbalan tertinggi setahun terakhir (per 31 Agustus), posisi teratas ditempati reksa dana saham dengan portofolio saham-saham sektor teknologi.
Reksa dana Manulife Greater Indonesia Fund yang dikelola PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) berhasil mencetak imbalan tertinggi yakni 63,39 persen, dengan porsi saham teknologi & informasi 15,5 persen.
Portofolio investasi reksadana ini menurut fund fact sheet Juli 2021, di antaranya saham ARTO, BBCA, BMRI, DMMX, MCAS, MPPA, MDKA, MLPL, TLKM dan TBIG.
Kemudian, reksadana Schroder Global Sharia Equity Fund milik PT Schroder Investment Management Indonesia yang berhasil mencetak imbalan 21,63 persen, juga menggenggam saham teknologi. Yakni saham Adobe Inc, Alphabet Inc, American Tower REIT Corp, ASML Holding, Estee Lauder Inc, Intuit Inc, Link REIT, Nestle SA, Relx Plc, dan Salesforce.com Inc.
Untuk diketahui, di Bareksa kini tersedia 13 produk reksadana dolar AS. Dari 13 produk itu, 9 di antaranya merupakan reksa dana saham syariah dan 4 lainnya reksa dana pendapatan tetap.
Bareksa merupakan agen terlengkap penjual reksadana (APERD) dengan penawaran reksa dana dolar AS terlengkap di Tanah Air.
Ditambah sejak 19 Agustus kemarin, reksadana dolar AS di Bareksa kedatangan penghuni baru, yakni Reksadana Manulife Saham Syariah Golden Asia Dolar AS (MAGOLD) A2 besutan MAMI, perusahaan manajemen investasi terbesar di Tanah Air.