Buku setebal 197 halaman berjudul “Buku Hitam Prabowo Subianto” beredar. Buku yang ditulis oleh Azwar Furgudyama dengan font berwarna merah serta cover bergambar Prabowo berwarna hitam putih.
“Buku Hitam Prabowo Subianto” ini berisikan berbagai hal yang berkaitan dengan capres nomor urut 2, mulai dari penculikan aktivis, kerusuhan Mei 98, hingga isu dinasti politik yang sempat dilayangkan kepada pasangan Prabowo-Gibran, kudeta, hingga keterlibatan Prabowo di Papua dan Timor Leste.
Buku itu menjelaskan bahwa Prabowo diduga terlibat atas penculikan para aktivis sebagaimana surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP.
Bahkan, dalam buku ini turut dijelaskan Prabowo menghimpun anak buahnya untuk beraksi di kawasan Glodok Building, Harco, Orion Plaza dan sekitarnya.
Beredarnya “Buku Hitam Prabowo Subianto” itu di tengah Pilpres ini cukup menyulut perhatian.
Siapa Azwar Furgudyama penulis “Buku Hitam Prabowo Subianto”?
“(Latar belakang saya) aktivis banget, semua juga tahu saya. Dan saya tetap pada posisi saya hari ini bukan politisi yang bisa menggadaikan idealisme demi sesuatu dan saya tetap berada pada cita-cita moral gerakan saya sebelum 98 itu,” ujar Azwar dikutip dari Kumparan, Rabu (13/12).
Buku ini merupakan buku pertama dari Azwar. “Ini yang pertama,” ujarnya.
Azwar mengungkapkan bahwa dia mulai menjadi aktivis semenjak berkuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1997. Ketika itu, tengah marak konsolidasi gerakan mahasiswa menuntut rezim presiden RI kala itu, Soeharto.
“Saya ikut demontrasi, ikut diskusi. Apa sih persoalan bangsa ketika itu. Persoalan bangsa ketika itu adalah bangsa Indonesia persoalan di bidang hukum. Hukum waktu itu betul-betul negara ini dibuat betul-betul hanya milik penguasa,” ujarnya.
“Hukum waktu itu betul-betul rakyat kecil tidak mendapatkan hak-hak keadilannya. Ya kalau bahasa sekarang tumpul ke atas tajam ke bawah,” jelasnya.
Lanjutnya, dari sisi ekonomi saat itu masyarakat susah. Penguasa ekonomi adalah pengusaha yang dekat dengan keluarga cendana. Politik saat itu pun dinilai tak adil dan tak demokratis.
Azwar menitikberatkan kepada Prabowo dalam buku ini karena menurutnya Prabowo terlibat atas penculikan para aktivis sebagaimana surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP.
“Dialah orang yang paling bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM berat ini. Kalau mas tanya kenapa batu boomingnya sekarang, bagaimana pun juga selagi persoalan ini belum diselesaikan dan belum dituntaskan, Prabowo ini belum diselesaikan belum dibawa ke pengadilan, menurut kami dia terlibat, tapi menurut mereka kan tidak nih. Harus dibawa diselesaikan di pengadilan dong. Negara harus menyelesaikan ini biar tidak berlarut-larut,” jelasnya.
Mengapa “Buku Hitan Prabowo Subianto” Terbit Bertepatan Momentum Jelang Pilpres 2024?
“Presiden itu adalah pemimpin tertinggi Republik Indonesia. Kita tidak mau Indonesia ini dipimpin oleh orang yang pernah punya pengalaman rekam jejak masa lalu terhadap pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.
“Kalau toh momentumnya hari ini ya kita harus cegah dong dengan segala cara bagaimana dia tidak memimpin negara ini,” imbuhnya.
Azwar sempat menyinggung soal para aktivis 98 yang berada di berbagai kubu di Pilpres 2024. Dia meminta para aktivis 98 ini untuk mempunyai nurani.
“Saya ingin katakan begini kalau politik urusan mereka itu, tapi jangan juga mengubur sejarah apalagi membalikkan fakta sejarah,” ujarnya.
Sementara, Wakil Komandan di Tim Charlie TKN Prabowo-Gibran, Sangap Surbakti, menanggapi beredarnya “Buku Hitam Prabowo Subianto” yang menyinggung soal penculikan aktivis hingga kerusuhan Mei 98.
Meski belum membaca buku tersebut, namun Sangap yakin jika pembahasan di dalamnya tak jauh dari cerita yang beredar soal Prabowo selama 25 tahun belakangan.
“Sudah dapat dipastikan bahwa isi dari buku tersebut adalah cerita-cerita yang sudah beredar selama 25 tahun ini, yakni keterlibatan Prabowo dalam peristiwa 1997/1998 terkhusus tragedi Mei 1998,” kata Sangap, Selasa (12/12).
Sangap menegaskan bahwa dalam penulisan buku tersebut tidak ada pembuktiannya. Bahkan penulis buku tersebut, Azwar Furgudyama, ia yakini tak pernah mewawancarai Prabowo.
“Apa yang penulis sampaikan adalah sesuatu yang penulis tidak pernah cek dan ricek, tidak pernah ada pembuktian dan wawancara langsung dengan Prabowo. Artinya penulis hanyalah mengutip dari sumber-sumber versi penulis, yang berarti sangat subjektif,” ujarnya.