Biaya politik pemilihan kepala daerah langsung yang begitu tinggi memaksa setiap pasangan calon harus memiliki kekuatan modal ekonomi yang harus kuat.
Harta kekayaan pasangan calon seringkali tak mencukupi untuk biaya politik, kadang menjadi pintu masuk cukong-cukong pilkada yang berujung pada pencederaan demokrasi.
Dilansir kompas.id. Hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung menunjukkan biaya politik yang harus dikeluarkan untuk memenangkan kontestasi cukup tinggi.
Bahkan untuk memperebutkan kursi bupati/wali kota, biaya yang harus dirogoh mencapai Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Sedangkan untuk pemilihan gubernur biaya politik mencapai Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Barangkali, hal itulah yang mengawali terjadinya konflik antara mantan Bupati Solok Gusmal dengan politisi dan juga pengusaha Epyardi Asda (Bupati Solok terpilih pada Pilkada Serentak 2020).
Epyardi Asda sebelum terpilih jadi Bupati Solok pada Pilkada 2020, pernah menjabat sebagai Anggota DPR-RI Fraksi PPP 3 periode yakni 2004—2009, 2009—2014, dan 2014—2018.
Ia juga tercatat sebagai pengusaha sukses setelah menjadi Komisaris Utama PT Kaluku Maritima Utama (1997-2004) yang juga bergerak di bidang kepelautan.
Kini, Epyardi Asda melaporkan mantan Bupati Solok dan Wakil Bupati Solok Gusmal-Yulfadri terkait dugaan penggelapan uang dan penipuan ke Kepolisian Resort (Polres) Solok Kota pada Rabu (7/4/2021).
“Benar, saya melaporkan mereka berdua terkait dugaan tindak pidana penipuan. Tapi ini baru dugaan ya. Jadi saya sebagai warga negara yang baik kalau ada masalah tentu melapor ke pihak yang berwenang,” ujar Epy dikutip dari tempo.co, Kamis 8 April 2021.
Epyardi Asda didampingi kuasa hukumnya Armen Bakar SH dan David Orlando SH mendatangi Polres Solok Kota. Dalam pengaduannya, Epyardi meminta pihak kepolisian memastikan secara hukum perkara yang dialaminya.
“Makanya saya datang ke Polres, untuk menjelaskan kronologisnya. Saya berharap polisi dapat menjelaskan secara hukum kasus ini benar atau tidaknya,” jelasnya.
Dugaan penipuan bermula saat Gusmal didampingi Yulfadri Nurdin meminjam uang kepada Epyardi Asda yang belum lunas dibayar, serta adanya dugaan penipuan dan penggelapan. Bahkan sudah berusaha dikomunikasikan dengan Gusmal melalui pengacaranya tapi tidak menemukan titik terang.
“Saya sudah mencoba mengomunikasikan sebelummya tapi tidak bisa bahkan saya sudah bentuk pengacara. Jadi, yang pinjam uang ke saya itu Pak Gusmal. Pak Yulfadri hanya mendampingi, dan saya menyerahkan uang saya itu ke tangan Pak Gusmal. Nah, bagaimana perjanjian Pak Gusmal dan Pak Yul saya tidak tahu,” ungkapnya.
Ia menyebutkan total uang yang dipinjamkan untuk biaya politik ke Gusmal yakni Rp1,3 miliar dan sudah dibayar pihak Gusmal dalam pengakuannya sebesar Rp600 juta, tersisa sekitar Rp700 juta lagi.
“Bagi saya, supaya jangan ada fitnah lebih baik kita selesaikan, sehingga saat saya dilantik nanti tidak ada lagi istilah bupati lapor ini dan itu, karena saat ini saya melapor sebagai warga,” katanya.
Sedangkan, Kuasa Hukum Epyardi Asda Armen Bakar mengungkapkan kasus tersebut sudah berjalan lama namun belum jelas penyelesaiannya.
“Ini sudah lama, bahkan saya selaku kuasa hukum pernah menemui terlapor, tapi hasilnya nihil. Sepertinya jalur hukum ini yang harus ditempuh. Kami melaporkan dugaan penggelapan dan penipuan atau pasal 372 dan pasal 378 yang masing-masing ancaman hukumannya empat tahun penjara,” ujarnya.
Sebelumnya, mantan Bupati Solok Gusmal membenarkan bahwa dirinya bersama mantan Wakil Bupati Solok Yulfadri Nurdin pernah untuk biaya politik berutang Rp1 miliar kepada politisi Epyardi Asda untuk biaya Pilkada 2015.
Gusmal mengatakan uang pinjaman tersebut dipergunakan untuk biaya para saksi pada Pilkada 2015 yang lalu. Karena usai kampanye dia dan Yulfadri Nurdin kehabisan dana untuk membayar para saksi.
“Kami pun meminjam uang ke Epyardi Asda senilai Rp1 miliar untuk biaya saksi pilkada pada 2015 yang lalu, bukan Rp 1,3 miliar,” ujar mantan Bupati Solok itu dikutip dari Antara, Kamis 8 Maret 2021.
Peminjaman uang tersebut dibuktikan dengan penekanan surat perjanjian yang ditandatangani oleh empat orang, yakni Gusmal dan istri, serta Yulfadri dan istrinya.
Selain itu, ia mengaku utang untuk biaya politik itu sudah dibayarkan sebesar Rp600 juta di akhir jabatannya dengan bukti jaminan berupa sertifikat tanah sudah diterimanya. Sementara untuk sisanya, Gusmal mengatakan bahwa itu bukan utangnya lagi, karena saat itu yang berutang tidak hanya dia saja, tetapi berdua dengan mantan Wakil Bupati Solok Yulfadri Nurdin.
“Kalau saya dilaporkan ya saya hadapi saja, saya kan ada bukti atas pembayaran utang itu. Terkait sisanya, masa saya sendiri yang bayar utang,” tegasnya.
Sementara, Kapolres Solok Kota melalui Kasat Reskrim Polres Solok Kota Iptu Evi Wansri mengatakan pihak kepolisian sudah menerima pengaduan Epyardi Asda. Untuk proses selanjutnya pihaknya akan mengonfirmasi kepada pihak yang diadukan.