Diduga LGBT Anggota Satpol PP di Dharmasraya Dipecat, Pegiat HAM Menilai Diskriminatif

- Advertisement -
Seorang anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berinisial RYP di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat dipecat karena “diduga LGBT” dan dianggap “bertindak asusila” setelah videonya berangkulan dengan perempuan lainnya viral di media sosial.

Kepala Satpol PP Dharmasraya, Syafrudin bersikukuh bahwa pemecatan itu dilakukan karena  “melanggar Surat Perjanjian Kerja” yang mengatur bahwa seorang praja “tak boleh melanggar asusila”.

“Silakan saja [menganggap pemecatan diskriminatif], tapi kami kan punya aturan. Masa seperti itu tidak kita tindak, kita biarkan saja? Masa kita memelihara dan membiarkan?” kata Syafrudin.

Pemecatan ini berawal ketika video RYP berangkulan dengan seorang perempuan viral di media sosial pada pertengahan Juli lalu.  Di dalam video tersebut, RYP tampak mengenakan seragam Satpol PP.

Syafrudin merespons peristiwa itu dengan membentuk tim untuk memanggil dan memeriksa RYP. Dalam pemeriksaan, RYP disebut “mengakui perbuatannya”.

Hasil sidang kemudian menyatakan RYP “melanggar asusila” berdasarkan klausul yang tercantum dalam Surat Perjanjian Kerja (SKP) sebagai petugas honorer di institusi itu.

“Sejak awal ada perjanjian kerja, salah satunya kan tidak berbuat asusila. Ini [LGBT] kan sudah termasuk perbuatan asusila,” kata Syafrudin.

Dia dipecat “secara tidak hormat” pada Rabu (26/7) dan tidak mendapatkan pesangon.

Namun, pegiat HAM dan komunitas LGBT mengecam pemecatan itu karena dinilai “diskriminatif” dan “tak berdasar”, hingga berdampak RYP kehilangan haknya untuk bekerja dan mencari nafkah.

“Karena dia mengekspresikan seksualitasnya dia dipecat, ini menggambarkan bagaimana kebencian dan diskriminasi terhadap LGBT itu menghilangkan hak dasarnya dan ini mengerikan sekali,” kata aktivis dari perkumpulan Suara Kita, Hartoyo dikutip dari BBC News Indonesia.

Hartoyo juga mempertanyakan dasar aturan yang melandasi pemecatan tersebut. Sebab orientasi seksual, dia sebut “tidak ada hubungannya dengan kinerja” seorang pegawai.

Sementara, Andreas Harsono dari Human Rights Watch (HRW) menilai proses pemecatan itu tidak adil, dan seolah menempatkan RYP sebagai pihak yang telah melakukan kejahatan.

“Orientasi seksual tidak boleh dijadikan dasar pemecatan seseorang karena itu adalah hak asasi manusia. Bahwa dia muncul ke publik dengan video, bermesraan bersama pasangannya, itu kan persoalan pribadinya. Itu bukan kejahatan,” kata Andreas.

“Orang lesbian kan berhak dicintai dan mencintai,” imbuhnya.

Sedangkan Hartoyo, aktivis dari perkumpulan Suara Kita yang aktif menyuarakan hak-hak LGBT, pemecatan ini adalah bentuk “pelanggaran” terhadap hak dasar LGBT sebagai warga negara. Sebab, orientasi seksual “tidak ada hubungannya dengan kinerja” seseorang.

Individu LGBT yang kehilangan sumber pencaharian juga berpotensi kehilangan akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Belum lagi dampak psikologis akibat stigma yang ditanggung.

Sebelum ada kasus ini pun, Hartoyo mengatakan komunitas-komunitas LGBT telah diliputi kekhawatiran dan ketakutan terhadap ancaman diskriminasi dan persekusi.

“Kalau ini dilakukan oleh pasangan heteroseksual belum tentu dipecat, paling-paling diberi peringatan. Cara pandang Kepala Satpol PP itu diskriminatif karena menganggap orientasi seksual ini menyimpang,” kata Hartoyo.

“Kejahatan apa memangnya yang mereka lakukan? Kok kesannya kayak membakar rumah orang, kayak mencuri uang orang miliaran rupiah. Memang LGBT enggak boleh kerja? Dasar aturannya apa?” sambungnya.

Hartoyo menilai aparat negara “tidak berhak” mencampuri urusan orientasi seksual individu.

spot_img

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA