Pencitraan yang dilakukan capres PDIP, Ganjar Pranowo menunjukkan ketidakmampuan para politikus buat mencari cara yang lebih baik dalam melakukan pencitraan diri di luar yang berkaitan dengan hal-hal berbau religius.
Ganjar Pranowo dalam beberapa hari ini, menjadi sorotan publik, terkait kemunculannya dalam tayangan azan Magrib di stasiun televisi nasional.
Terkait hal ini, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai seharusnya para politikus tidak melakukan pencitraan yang dibuat-buat.
“Tidak melakukan sosialisasi politik primitif dan tampak dibuat-buat hanya untuk memperoleh simpati khalayak,” ujarnya, Senin (11/9/2023).
Neni juga menyoroti perilaku pemilik stasiun televisi tertentu yang terlibat dalam partai politik supaya tidak berlebihan menggunakan hak pengelolaan saluran televisi yang diberikan pemerintah hanya buat menguntungkan kelompok tertentu.
“Jangan karena memiliki penguasaan media sehingga dapat bertindak tidak etis dan estetis yang dibungkus dengan iklan sosialisasi kandidat tanpa mengindahkan regulasi dan aturan main dalam pemilu,” kata Neni.
Neni juga berharap Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersikap tegas terkait kemunculan Ganjar Pranowo dalam tayangan azan Magrib.
Neni menilai kemunculan Ganjar Pranowo dalam tayangan azan Magrib di saluran televisi swasta tertentu merupakan pelanggaran. Dia mengatakan, kedua lembaga itu memiliki kewenangan untuk menindak potensi dugaan pelanggaran itu.
Namun, Neni merasa tayangan azan yang menampilkan Ganjar sulit ditindak karena lemahnya regulasi pemilu antara sosialisasi dan kampanye, sehingga para kontestan melakukan kegiatan yang menyerempet kampanye mendahului waktu yang sudah ditentukan.
Neni mengatakan, dalam Pasal 79 PKPU 15 tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum mengatur partai politik peserta pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai sebelum masa kampanye.
Menurut Neni, aturan itu justru tidak masuk akal sebab definisi antara sosialisasi dan kampanye menjadi tidak jelas.
“Aturan kampanye yang absurd sehingga sulit membedakan antara sosialisasi dan kampanye,” kata Neni.
Selain itu, Neni juga melihat aturan sosialisasi hanya ditujukan bagi partai politik peserta pemilu. Sedangkan bagi para bakal capres dan bakal cawapres tidak diatur. Sehingga, para bakal capres-cawapres seolah-olah dapat bergerak sesuka hati tanpa ada batasan.
Sebelumnya diberitakan, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto kemunculan Ganjar dalam tayangan azan Magrib di stasiun televisi swasta tertentu bukan politik identitas.
“Bukan (politik identitas). Pak Ganjar Pranowo ini sosok yang religius. Religiusitasnya tidak dibuat-buat. Istrinya, Bu Siti Atikoh juga dari kalangan pesantren,” ujar Hasto.
Sebaliknya, sebagai seorang muslim, Ganjar telah menjadi teladan bagi sesamanya. Hal ini justru patut mendapatkan apresiasi.
“Menjalankan (shalat) lima waktu itu kan merupakan hal yang positif. Bagi umat Kristen mengajak ke gereja. Bagi umat Hindu (beribadah) di pura, itu merupakan sesuatu yang bagus,” ungkap Hasto.
Menurut Hasto, tayangan itu memperlihatkan sosok Ganjar yang alamiah, atau tidak dibuat-buat. “(Sedangkan) kalau politik identitas itu kan politik yang tidak mencerdaskan kehidupan berbangsa dan politik yang miskin prestasi,” imbuhnya.