Generasi Z dan milenial bakal jadi kunci kemenangan dalam Pemilu 2024. Merujuk hasil sensus penduduk 2020, populasi Gen Z mencapai 74,9 juta atau 27,7 persen dari total 270,2 juta penduduk. Sementara generasi milenial berjumlah 69,4 juta atau sekitar 25,9 persen dari total penduduk.
Berdasarkan kategori BPS, Generasi Z meliputi mereka yang lahir antara 1997-2012, sementara milenial adalah generasi yang lahir 1981-1996.
Dua generasi ini menjadi kunci kemenangan, tapi partai politik dan capres-cawapres harus bekerja keras karena literasi dan edukasi politik yang rendah menjadi tantangan tersendiri untuk meraup suara mereka.
Dalam sebuah survei ditemukan perilaku generasi Z dan milenial terhadap politik uang. Mereka yang mengatakan tidak menerima dan tidak akan memilih calon pemimpinnya sebanyak 21,85 persen, menerima tapi memilih calon lain (14,96 persen), tidak menerima uang tapi memilih calon pemimpinnya (12,01 persen), menerima uang dan memilih calon pemimpinnya (9,84 persen), tidak menerima uang tapi akan memilih calon lain yang sudah memberi (3,54 persen), tidak menjawab (37,8 persen).
Para milenial yang diduga sebagian besar adalah “kaum rebahan” di sisi lain memiliki kelompok-kelompok yang haus informasi. Mereka yang haus informasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik. Mereka sebagaimana milenial dan generasi Z lainnya merasa kurang terwakili dalam demokrasi.
Generasi Z Mulai Tidak Tertarik Mencari Informasi dari Google
Istilah googling yang merujuk pada pencarian di Google mungkin akan jarang atau bahkan tidak terdengar lagi. Para Gen Z mulai tak tertarik untuk mencari informasi di raksasa mesin pencarian.
Pernyataan tersebut berdasarkan laporan tahunan Reuters Institute for the Study of Journalism. Survei dilakukan pada 94 ribu orang dewasa di 46 negara, termasuk Amerika Serikat (AS).
Laporan itu mengungkapkan anak-anak muda lebih suka mengakses berita lewat media sosial. Khusus untuk media sosial, pengguna lebih memperhatikan selebritas dan influencer dibandingkan jurnalis pada platform seperti Tiktok, Instagram dan Snapchat.
Pada laporan yang sama, Tiktok jadi jejaring sosial dengan pertumbuhan tercepat. Platform berbagi video itu digunakan 20% orang berusia 18-24 tahun atau naik 5% dari tahun lalu.
Direktur Institut Reuters Rasmus Nielsen menjelaskan tidak bisa berharap lagi anak muda suka membaca dari media massa. Misalnya saja portal web lawas, TV, maupun media cetak.
“Tidak masuk akal jika kita masih berharap mereka yang lahir di tahun 2000-an akan memilih situs web kuno, apalagi berita dalam bentuk siaran dan cetak,” jelas Nielsen, dikutip dari Reuters.
Terungkap juga masih ada beberapa orang yang lebih suka baca berita berdasarkan pilihan algoritma di internet, dibandingkan pilihan editor atau jurnalis.
Sejumlah masyarakat juga dilaporkan mulai tidak percaya dengan berita. Jumlahnya menurun 2% dari yang tercatat tahun lalu.
Laporan ini juga menyinggung soal informasi hoaks. Lebih dari setengah responden (56%) khawatir mengidentifikasi perbedaan antara berita asli dan palsu yang ada di internet. Angka tersebut naik 2% dari tahun lalu.