Ide untuk duetkan Jokowi – Prabowo pada Pilpres 2024 adalah bentuk ‘fear scenario’ atau upaya menjual ketakutan dengan embel-embel isu pembelahan.
Hal ini disampaikan Gurubesar Ekonomi IPB, Prof Didin S Damanhuri menyikapi isu yang kembali dipanaskan oleh penggagas relawan Jokowi – Prabowo, Muhammad Qodari belum lama ini.
Menurutnya, isu pembelahan yang menjadi tameng Qodari sejatinya tidak hanya terjadi baru-baru ini, namun sudah ada dalam politik Indonesia sejak tahun 1955, antara kelompok agamis dan nasionalis.
“Namun kategorisasi antara santri dan abangan yang lama diembuskan ternyata sudah hampir tidak relevan karena yang terjadi saat ini, partai nasionalis mendekati agamis, dan partai-partai agamis juga mendekati nasionalis,” kata Prof Didin S Damanhuri dalam webinar Narasi Institute dikutip dari RMOL, Jumat (25/6/2021).
Berpijak pada hal tersebut, ia pun menyarankan agar ide fear scenario tak diteruskan. Sebab berdasarkan pengalaman, saat penguasa hendak memperpanjang kekuasaan melebihi aturan hasilnya tak akan baik.
“Akan ada agenda terburuk yang menimpa pemerintahan demokratis bila ingin memperpanjang kekuasaannya melebihi ketentutan, seperti saat Soekarno menjadi presiden seumur hidup dan saat Soeharto dibujuk untuk terus melanjutkan sampai 32 tahun,” jelasnya.
Baginya, cara untuk mengakhiri pembelahan bukan dengan memasangkan Jokowi – Prabowo seperti usulan M Qodari, melainkan dengan mengurai eksistensi oligarki pengisap rakyat yang saat ini menguat.
“Kita harus akhiri pembelahan karena eksistensi oligarki, tidak ada yang happy baik parpol pendukung pemerintah maupun oposisi. Semua seharusnya bersatu melawan oligarki, itu cara tepat mengakhiri pembelahan” kata Didin S Damanhuri.
Kemudian, alasan perpanjang tiga periode juga tidak tepat karena melawan agenda reformasi. Reformasi telah mengakhiri kecelakaan sejarah, dimana presiden dijatuhkan karena tidak adanya pembatasan periode.