Jokowi kini dinilai tengah melanggengkan dinasti politiknya, hal itu tergambar pada headline media nasional Tempo yang mengangkat tema “Ekspansi Politik Dinasti Jokowi”.
Viralnya headline Tempo yang berkaitan dengan dinasti politik yang tengah dibangun Jokowi ikut dikomentari oleh politikus Partai Demokrat, Denny Indrayana.
Bahkan, Denny menilai bahwa Jokowi selama ini tidak hanya melanggengkan dinasti politik saja, tapi juga dinasti bisnis.
“Kedua dinasti itu jelas-jelas merusak janji kampanye awal Jokowi dulu untuk memberantas KKN. Faktanya, Korupsi Kolusi Nepotisme makin merajalela,” ujar Denny dikutip dari Warta Ekonomi.
Denny menyebut ekspansi sang anak dan menantu di sektor bisnis dan politik meruntuhkan janji kampanye tersebut.
“Jokowi justru menjadi contoh terdepan bagaimana korupsi disuburkan, kolusi dengan oligarki dibiarkan, dan nepotisme dikembangbiakkan,” ujarnya.
Menurut Denny, seharusnya Jokowi lebih bagus cawe-cawe untuk urusan menolak pelemahan KPK.
“Menolak RUU Pelemahan KPK. Melalui panselnya menolak komisioner KPK yang tidak beretika, bukan justru ditambah bonus perpanjangan 1 tahun jabatan. Menolak rekayasa tes TWK yang memecat Novel Baswedan dkk,” imbuhnya.
Harusnya Jokowi cawe-cawe mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset. Sebagaimana Jokowi mengkilatkan pembahasan perubahan UU KPK, UU IKN, Perubahan UU Minerba, bahkan memPerpukan UU Ciptaker.
“Harusnya Jokowi cawe-cawe melarang anak dan mantunya tidak dulu masuk ke dalam pilkada, karena merusak pertandingan hanya menjadi “permainan bola gajah” pura-pura berkompetisi, padahal pemenang sudah ditentukan sebelumnya,”
“Harusnya Jokowi cawe-cawe, melarang anaknya menerima modal bisnis dari para oligarki bermasalah. Karena suntikan modal atau kongsi bisnis demikian sebenarnya adalah potret telanjang dari tindak pidana korupsi trading in influences atau minimal suap, melalui anak-anak Presiden,” ungkapnya.
Sementara Tempo menulis, bahwa Presiden Joko Widodo membiarkan anak dan menantunya naik ke pucuk kekuasaan. Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya, menjadi Wali Kota Solo. Bobby Nasution, menantunya, menjadi Wali Kota Medan.
Kini Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, berniat maju dalam pencalonan Wali Kota Depok.
Namun menurut Tempo, apa yang dilakukan anak-menantu Jokowi tidak keliru. Mereka sedang menjalankan hak konstitusional warga negara. Tapi secara etika, Jokowi mencederai apa yang dulu menjadi harapan orang banyak kepadanya.
Sepuluh tahun lalu, kita bergembira ada politikus seperti Jokowi yang menjadi calon presiden. Ia mencatatkan sejarah sebagai politikus yang merangkak dari bawah, berasal dari keluarga orang Indonesia kebanyakan, terlepas dari kekuatan politik lama, sehingga memancarkan harapan tentang Indonesia baru dengan demokrasi yang lebih sehat.
Kurang dari sepuluh tahun kemudian, Jokowi melukai harapan itu. Jika Suharto mengangkat anaknya sendiri, Siti Herdianti Rukmana, sebagai Menteri Sosial, Jokowi membiarkan anak menantunya naik ke tampuk kekuasaan. Kedudukannya sebagai presiden tentu berpengaruh terhadap suara pemilih yang abai terhadap bahaya dinasti politik seperti ini.
Pertanyaannya, untuk apa?
Edisi pekan ini coba mengulas ekspansi keluarga Jokowi dalam politik Indonesia. Ia sudah menegaskan akan “cawe-cawe” dalam pemilihan presiden penggantinya pada 2024—sesuatu yang juga tak etis. Meski tak memiliki partai, Jokowi punya relawan—sekelompok orang yang bisa ia giring mendukung salah satu calon dalam Pemilu.
Dengan modal relawan itu, Jokowi hendak mengatur siapa penggantinya, seperti kecenderungan ia mendukung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, rivalnya dalam dua kali pemilihan presiden.
Kini ia juga memupuk kekuasaan lewat anak dan menantunya. Setelah perpanjangan masa jabatan presiden dan menunda Pemilu gagal, kini ia mendorong keluarganya sendiri menjadi penguasa. Cara ini bisa dibaca sebagai strategi Jokowi tetap relevan dan punya peran dalam politik Indonesia.
Dengan organisasi-organisasi relawan yang loyal membuat ia tetap diperhitungkan dalam peta politik. Dalihnya bisa macam-macam. Salah satunya, menjaga keberlanjutan program-programnya selama dua periode menjadi presiden. Atau, ya, Jokowi sudah kecanduan kekuasaan belaka.
Apa pun niat di balik manuver politik Jokowi, ia telah melakukan hal yang tak patut dalam demokrasi.
Sumber: Tempo