Akhir – akhir ini, kasus korban mafia telah terjadi silang sengkarut asap kegaduhan politik berkobar di Indonesia, akibat tabrakan aneka macam kasus hot yang asimetris.
Sebutlah, wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga priode; unjuk rasa mahasiswa penentang di depan gedung MPR DPR, Senin (11/04/2022) dan kasus penganiayaan Ade Armando, yang ada dan tiada diantara dua pertentangan itu.
Ketiga isu asimetris itu berkelindan merebut dan menguasai hampir semua ruang publik. Direproduksi dengan aneka macam versi.
Penuh bumbu dengan sensasi, dengan aroma artifisial kemanusiaan dan peradaban. Melalui berbagai transmisi media. Terutama media sosial (medsos).
Belum reda semua itu merata ke atas permukaan bumi. Dunia politik kembali gaduh. Empat orang pelaku mafia minyak goreng ditangkap Kejaksaan Agung. Ramai diberitakan di jaringan multi median, Selasa (19/04/2022) dan diekspose di televisi Siang malam 24 jam.
Pejabat eselon satu Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnhu Whardana ditangkap bersama tiga orang manajer perusahaan besar perkebunan kelapa sawit high class dunia.
Masing–masing, Master Parulian Tumanggor, Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia; Stanley MA Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup dan Pierre Togar Sitanggang, General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.
Semuanya langsung diborgol. Langsung berbaju oranye, dan tersangkanya langsung ditahan.
Mafia? Apakah merekalah yang disebut – sebut dalam banyak pemberitaan sebagai mafia minyak goreng? Ternyata tidak juga. Ada pejabat yang menyebut mereka mafia. Ada yang membantah, tidak ada mafia minyak goreng.
Dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis (17/3/2022), Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi mengungkap langka dan tingginya harga minyak goreng disebabkan oleh permainan mafia minyak goreng.
Para mafia itu, kata dia, menyelundupkan minyak goreng yang mestinya menjadi konsumsi masyarakat ke industri-industri, bahkan hingga diimpor ke luar negeri.
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel mengomentari pernyataan pihak Kemendag terkait adanya mafia minyak goreng.
Menurutnya, saat ini tidak ada mafia minyak goreng dan hanya ada ketidaktepatan kebijakan. Di sektor pangan memang ada mafia di sejumlah komoditas, tapi tidak ada di minyak goreng.
“Yang ada adalah ketidaktepatan dalam regulasi sehingga pengusaha mencari celah untuk mencari keuntungan,” kata Gobel dalam keterangan tertulisnya pada Senin (21/03/22).
Menurutnya, saat ini adalah persoalan pengaturan dalam tata niaga. Kemudian permasalahan dalam kepemimpinan, manajerial, dan pendekatan dalam pengelolaan tata niaga minyak goreng.
Muhammad Luthfi dan Rachmat Gobel berlatar belakang sama: pengusaha. Sama – sama petinggi Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia. Gobel pernah menjabat Menteri Perdagangan dalam Kabinet Kerja 2014-2019.
Tapi, hanya bertugas setahun, kena reshuffle. Tanpa kejelasan, apa sebabnya. Diganti Thomas Lembong.
Masuk akal kalau Gobel tahu persis, ada tidaknya permainan tidak sehat dalam distribusi minyak goreng. Termasuk dalam bisnis lain sebagai sebagai turunannya.
Mungkin karena dia pernah lama studi di Jepang. Boleh jadi mengetahui praktik sejenis mafia di negeri Sakura yang disebut Yakuza itu, beda dengan yang ada di dunia minyak goreng.
Luthfi masuk ke kabinet periode kedua rezim Jokowi. Menggantikan posisi Agus Suparmanto yang terkena reshuffle.
Dilantik 23 Desember 2020 lalu. Lulusan Purdue University, Indiana, Amerika Serikat tahun 1992. Pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat (AS), 14 September 2020 – 23 Desember 2020.
Sebelumnya pernah Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM di era SBY. Lalu di priode pertama Jokowi dia jadi Duta Besar di Jepang
Menilik identitas dan latar belakang kehidupan empat tersangka itu , memang “berbeda – beda”, namun tampaknya “tetap satu jua”.
Sama–sama penjahat ekonomi dan pelaku kejahatan kemanusiaan. Sama–sama punya akses ke pusat kekuasaan. Memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai “white collar crime” sejati.
Jika menelisik nama–nama tersangka, publik sepertinya memperoleh cahaya penuntun untuk menyebutnya “kejahatan dan pejahat itu” punya korelasi dengan pusat kekuasaan. Serentak, industri rumahan yang bernama medsos – medsos ramai–ramai urun rembuk.
Merespons dan mereproduksi catatan hitam atau jejak digital para tersangka yang terhubung Istana. Publik, seolah mendapat “wangsit” mendorong Presiden Jokowi yang dikenal populis itu, mau bertindak tegas.
Memberantas komunitas “sampah” perusak kesehatan bangsa itu. Yang terang benderang. Yang ada di sekitarnya. Jokowi selama ini dikenal mahir mengelola isu kerakyatan.
Penggemar blusukan. Jurus pemantik simpati rakyat kecil. Yang akrab dengan derita. Kesanalah, Jokowi diminta berlabuh.
Atas nama penderitaan rakyat kecil, maka dia wajib hukumnya bertindak cepat. Melangkah tegas. Bergerak lugas memberantas mafia minyak goreng itu bersama geng-nya. Sampai ke akar – akarnya.
Apapun istilahnya, pemilik suara terbanyak – publik itu – bersepakat mengatakan, kasus mafia minyak goreng yang digoreng oleh pejabat resmi, berkomplot dengan perusahaan perkebunan besar milik konglomerat besar alias oligarki.
Sesungguhnya, momentum ini, merupakan pintu masuk (entry point) bagi presiden Jokowi untuk menancapkan legacy atau warisan berharga. Menoreh sejarahnya untuk seluruh rakyat Indonesia. Menumpas habis – habisan, mereka yang telah membuat rakyat kecil menderita.
Antri berhari – hari untuk satu liter minyak goreng. Bahkan ada yang meninggal dunia.
Saatnya Jokowi tampil memimpin perlawanan menumpas kekuatan oligarki di negeri ini. Yang banyak diyakini bercokol di Istana.
Di pusat kekuasaan itulah sesungguhnya problema besar bangsa besar ini. Harus dijawab Jokowi: Menumbangkan imperialisme dan kolonialisme ekonomi, yang menghisap darah bangsa ini.
Apabila Jokowi mau menindak mafia minyak goreng, yang diback up kekuatan oligarki, bersama agen – agennya, yang banyak disebut – sebut bercokol di Istana, dipastikan dia akan meraih dukungan suara terbanyak (electoral vote) masyarakat akar rumput.
Tanpa kampanye. Tanpa tim sukses. Tanpa buzzer. Tanpa Influencer. Tanpa intrik. Tanpa represi. Tanpa baliho. Cuma tentu saja ada berita “buruknya”: terjadi pengangguran massal para buzzer Istana.
Mereka akan kehilangan jabatan bergengsi. Kehilangan sumber nafkah, yang sesungguhnya dibalik itu , malah banyak melukai hati orang lain. Mereka yang tidak sejalan. Orang yang tidak berdosa.
Langkah kuda Jokowi yang berani dinanti. Itulah yang sebenar – benanya yang patut disebut “revolusi mental”. Bukan yang lain. Yang remeh temeh dan complicated..
Dapatkah atau maukah Jokowi menghibahkan sisa pemerintahannya yang dua tahun lagi: mengerahkan keberaniannya.
Bermutasi menjadi “Gundala” alias “Putera Petir”, untuk membongkar komplotan penjahat kemanusiaan. Yang sudah terang – terangan ada di sekeliling Istana. Yang bernama Oligarki dan antek – anteknya.
Merekalah mungkin Brutus itu. Atau anak asuh Sang Brutus?
Wallahu A’lam Bishawab!!
Sumber: Zainal Bintang wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.