Sudah kita pahami bersama bahwa politik uang adalah induk dari korupsi di sebuah negeri. Salah satu bentuk politik uang yang banyak terjadi adalah pemberian mahar politik kepada partai. Praktik ini akan merusak demokrasi, sekaligus menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak kompeten dan korup.
Mahar politik adalah sejumlah uang yang diberikan orang atau lembaga kepada partai politik atau koalisi partai dalam proses pencalonan wakil rakyat atau pemimpin seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden dan wakil presiden. Dari pengertian tersebut, politik uang jenis ini terjadi di tahap pencalonan oleh partai, pemberi mahar bisa siapa saja, baik dari internal atau eksternal.
“Mahar politik juga dikenal dengan istilah ‘uang perahu’, yaitu seseorang membayar uang agar mendapatkan kendaraan di partai politik agar dicalonkan. Mahar diberikan untuk mendapat ‘stempel’ dan restu dari parpol. Mereka berargumen, ini perlu untuk menggerakkan mesin politik,” kata Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK.
Mahar politik adalah salah satu aspek yang membuat ongkos politik di Indonesia menjadi mahal, selain untuk jual beli suara. Nilai transaksi di bawah tangan ini sangat fantastis, mencapai miliaran rupiah. Semakin besar uang yang dikeluarkan, maka semakin besar peluang kandidat itu untuk diusung partai. “Para kontestan mengeluarkan antara Rp 5-15 miliar per orang untuk membiayai mahar politik,” kata Amir.
Untuk mendapatkan uang mahar politik, tentu saja seorang kandidat tidak merogoh koceknya sendiri. Pasalnya, nilai mahar bahkan terkadang lebih besar dari total harta kandidat pemberinya. Amir mengatakan, ada pendana di balik mahar politik, baik pengusaha, individu, atau pihak swasta.
“Ada yang mendanai, membandari dan mencukongi mahar politik. Yang pasti tidak ada yang gratis. Jika terpilih, dia akan menguntungkan dirinya sendiri karena berpikir untuk balik modal,” kata Amir.
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya mahar politik. Di antaranya terdapat pada UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Dalam Pasal 47, disebutkan bahwa “partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati dan walikota”.
Peraturan melarang mahar politik juga terdapat pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya di Pasal 228 yang menyebutkan “Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden”. Di pasal yang sama juga disebutkan larangan bagi orang atau lembaga untuk memberikan imbalan kepada partai politik dalam proses pencalon presiden dan wakilnya. Aturan mengenai mahar politik tersebut memuat sanksi yang tegas, yaitu larangan bagi parpol untuk mengajukan calon pada periode berikutnya.
Kendati mahar politik telah menjadi sebuah rahasia umum, namun pembuktiannya sulit dilakukan karena dilakukan dengan terbatas dan rahasia. Selain itu, untuk membuktikan mahar politik, mesti ada pengakuan dari pemberi. Adanya sanksi pidana bagi pemberi dan penerima mahar politik membuat pengakuan ini sulit terealisasi.
Dampak Buruk Mahar Politik
Mahar politik memiliki dampak yang buruk, baik bagi demokrasi, regulasi, dan masyarakat secara luas. Kandidat yang terpilih karena mahar politik terbukti tidak memiliki integritas dan kapasitas untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
“Karena mengandalkan uang, akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, dan merasa bisa menang dengan cara apapun, bukan yang kuat berintegritas dan ideal,” lanjut dia.
Selain itu, terpilih karena mahar politik membuat seseorang akan putar otak mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk mengikat restu dari partai. Akhirnya setelah duduk di kursi legislatif, regulasi yang dihasilkannya hanya menguntungkan diri dan kelompoknya saja, bukan rakyat.
“Kalau sudah karakternya begitu, maka dampaknya akan berkelanjutan, perilakunya dalam menyelenggarakan negara bisa menyebabkan korupsi, menciptakan regulasi yang lebih menguntungkan dirinya sendiri karena berpikir untuk balik modal,” ujar Amir.
Mahar politik juga merusak demokrasi dan sistem pengkaderan partai. Mahar bisa menggeser figur-figur potensial yang berintegritas di partai dengan sosok baru yang berani bayar mahal. “Akhirnya yang mendapatkan restu partai politik adalah yang berani membayar lebih besar, bukan berdasarkan kapasitas dan kompetensi kader,” ujar Amir.
Bentuk Parpol Berintegritas dengan PCB Terpadu
Kenyataan di atas telah lama disadari oleh KPK sebagai salah satu aparat penegak hukum bidang pemberantasan korupsi di Indonesia. Melalui Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, KPK menyelenggarakan Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Terpadu bagi parpol peserta pemilu.
Dalam PCB, para pengurus Parpol mendapatkan pengetahuan seputar integritas dan antikorupsi. Mereka juga bisa belajar antikorupsi secara mandiri atau elearning di situs ACLC KPK. Amir mengatakan, pendidikan bagi parpol ini adalah salah satu area fokus KPK dalam pemberantasan korupsi.
“Target kami ada dua, pertama adalah mendorong komitmen para pengurus parpol menjadi bagian politik berintegritas, dan kedua meningkatkan kesadaran dan pengetahuan seluruh kader parpol tentang antikorupsi,” kata Amir soal PCB Terpadu.
Salah satu yang didorong dalam PCB Terpadu adalah penggunaan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang merupakan hasil kajian antara KPK dan Stranas PK. SIPP bertujuan untuk membangun integritas parpol dengan tata organisasi yang baik, salah satunya mencegah mahar politik.
Ada 5 komponen utama bagi parpol dalam implementasi SIPP. Pertama adalah kode etik, yang mencakup adanya lembaga penegak etik dan whistle blower system; keuangan parpol dengan kejelasan sumber keuangan dan alokasi anggaran; rekrutmen yang baik dengan regulasi dan sistem yang apik; demokrasi internal parpol yaitu demokratisasi dalam penentuan pengurus dan pengambilan keputusan; dan kaderisasi dengan regulasi yang diiringi monitoring dan evaluasi.
“Kami harapkan dampak dari berbagai program ini terlihat di 2024. Semoga pada 2024 nanti, masyarakat bisa mendapatkan wakil yang kompeten yang berintegritas,” kata Amir.
Sumber: KPK