Hanya berselang beberapa hari sejak mencuatnya kasus pemaksaan menggunakan jilbab terhadap seorang siswi di Bantul, Yogyakarta. Kini, muncul seruan untuk mengembalikan seragam sekolah negeri menjadi “seperti dulu” mengemuka di media sosial.
Akibat pemaksaan gunakan Jilbab yang terjadiu di Bantul tersebut, sebuah cuitan viral di media sosial, seorang pengguna Twitter membagikan sebuah gambar yang menyerukan agar seragam sekolah dikembalikan “seperti dulu”.
Di dalam gambar itu tertera tulisan yang menyatakan bahwa “sekolah negeri, bukan sekolah Islam” sehingga menggunakan kemeja dan rok panjang bagi siswi berjilbab adalah “pilihan”.
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan aturan berseragam di sekolah negeri yang tercantum melalui Peraturan Menteri Mendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 sebetulnya memberi opsi bagi siswa-siswi untuk memilih menggunakan seragam pendek, seragam panjang, maupun gunakan jilbab.
Tetapi kenyataannya, kasus pemaksaan dan pelarangan atribusi keagamaan pada seragam sekolah memang cenderung meningkat selama 10 tahun terakhir.
“Ini yang menjadi tanda tanya, mengapa dengan adanya aturan yang seharusnya mengakhiri justru masih terus terjadi, berarti kan selama ini tidak ada evaluasi,” ujar Satriwan pada Senin (01/08).
Tetapi dia menilai kondisi saat ini pun bisa dibilang tidak lebih baik dibanding masa lalu. Sejarah menunjukkan bahwa negara bertindak represif terhadap gunakan jilbab di sekolah pada masa Orde Baru.
Praktik kebebasan memilih seragam itu, menurut Satriwan, sempat terlaksana cukup baik pada era 2000-an awal yang masih merupakan masa transisi dari era Orde Baru menuju era demokrasi pasca-reformasi.
“Pada masa transisi itu bisa dibilang lebih bebas dan kebebasan itu yang kemudian diformalkan melalui Permendikbud Nomor 45 Tahun 2015 itu. Mau pakai seragam pendek boleh, panjang boleh, kerudung boleh. Di situ kami berharap (intoleransi) berakhir, tapi ternyata masih terus berulang,” kata dia.
Kasus terakhir yang mengemuka ke publik terjadi di Bantul, Yogyakarta, di mana seorang siswi depresi diduga karena dipaksa menggunakan jilbab.
Satriwan mengatakan sekolah semestinya menjadi arena bagi para siswa untuk merayakan keberagaman. Tetapi aturan-aturan diskriminatif yang muncul di lapangan justru merepresentasikan sebaliknya.
“Kalau ini terus dibiarkan, sekolah bukan lagi jadi arena keberagamaan, tapi jadi arena intoleransi,” kata dia.
Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo yang mengatakan sekolah semestinya hanya sebatas mengedukasi para siswa akan kesadaran berpakaian sesuai ajaran agama.
“Bukan dengan peraturan yang memaksa seperti contohnya menggunakan seragam berkerudung, sampai-sampai yang bukan Muslim pun dipaksa, tetapi seharusnya lebih mengedukasi agar kesadaran mereka tumbuh sendiri,” kata Heru.