Isi pidato Megawati blunder, ketika Ketua Umum PDIP ini menyoroti berbagai hal, termasuk keputusan MKMK kepada MK yang dinilai masih membawa secercah harapan untuk memberikan cahaya terang di tengah kegelapan demokrasi di Indonesia.
Publik menilai pidato Megawati blunder karena menyebut bahwa rakyat tidak boleh diintimidasi seperti dulu lagi. Hal ini disampaikan Megawati mengkritik terkait dengan penyelenggaraan pemilu, pada Minggu (12/11/2023).
“Saudara-saudara sekalian, keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah memberikan cahaya terang di tengah kegelapan demokrasi. Keputusan MKMK tersebut menjadi bukti bahwa kekuatan moral, politik kebenaran, dan politik akal sehat tetap berdiri kokoh meski menghadapi rekayasa hukum konstitusi,” ujar Megawati.
Selain itu, Megawati juga menyebut jika kecurangan Pemilu yang akhir ini terlihat sudah mulai akan terjadi lagi.
“Pemilu yang demokratis, yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, harus dijalankan tanpa ada kecuali! Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi. Jangan biarkan kecurangan Pemilu yang akhir ini terlihat sudah mulai akan terjadi lagi. Gunakan hak pilih mu dengan tuntunan nurani,” jelasnya.
Publik menyoroti kata “lagi” dalam pidato Ketum PDIP tersebut. Dengan menggunakan diksi “lagi” maka seolah-olah kecurangan dan intimidasi sudah pernah terjadi sebelumnya. Dan itu terdapat pada kalimat Megawati tersebut berada di paling akhir pada pidatonya.
Sebelum berpidato dengan sisipan kata “Lagi”, Megawati sempat menyinggung soal reformasi dan segala polemik yang terjadi pada saat itu.
Isi pidato Megawati blunder:
Dengan seluruh suasana kebatinan terkait pembentukan MK ini, apa yang menjadi kehendak rakyat melalui reformasi, adalah suatu perlawanan terhadap watak dan kultur pemerintahan yang pada waktu itu memang sangat otoriter.
Dalam kultur otoriter dan sangat sentralistik ini, lahirlah nepotisme, kolusi, dan korupsi. Praktik kekuasaan yang seperti inilah yang mendorong lahirnya reformasi.
Semangat reformasi yang berkobar-kobar itu, menggerakkan rakyat, hingga masuklah zaman demokrasi. Bukan sebuah proses yang mudah, bukan yang indah, karena pada waktu itu, sampai saat ini, kita masih seharusnya mengenang dengan perasaan hati yang begitu sedih atas pengorbanan rakyat dan mahasiswa melalui peristiwa Kudatuli, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi, hingga berbagai peristiwa penculikan para aktivis, bagian dari rakyat, dan lain lain.
Mereka banyak saksi-saksi hidup, yang sampai saat ini berdiam diri. Semua menjadi wajah gelap demokrasi.
Praktik kekuasaan yang otoriter itulah yang telah kita koreksi. Maka melalui reformasi, janganlah lupa, lahirlah demokratisasi melalui pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan terbatas, serta undang-undang tentang pemerintahan yang bebas dari nepotisme, kolusi, dan korupsi.