Tak bisa dipungkiri, politik uang telah merusak negeri ini. Politik uang merupakan embrio tumbuhnya pemerintahan yang korup dan tak berkualitas. Politisi yang menjadikan uang sebagai sebuah kekuatan untuk meraih suara, merupakan cikal bakal politisi yang korup.
Bisakah politik uang itu dihentikan ?
Politik uang merupakan salah satu strategi mempengaruhi orang lain dengan imbalan materi dan dapat diartikah jual beli suara pada proses politik. Hal ini merupakan salah satu tindakan yang dapat menciptakan adanya korupsi politik.
Potensi menggunakan uang sebagai kekuatan politik terus ada, karena beberapa pasal di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengatur larangan politik uang terbatas waktu dan objek. Hal ini, memungkinkan pelaku politik uang bisa melakukan praktik politik uang sepanjang dirinya tidak masuk sebagai tim kampanye, peserta pemilu, atau pelaksana pemilu.
Aturan soal politik uang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang terbagi ke dalam sejumlah pasal yakni Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523. Dalam pasal-pasal tersebut, larangan politik uang dilakukan tim kampanye, peserta pemilu serta penyelenggara selama masa kampanye.
Beleid yang sama juga mengatur larangan semua orang melakukan penyuapan suara melalui uang di masa tenang dan pemungutan suara. Sanksi bagi pelanggar bervariasi. Hukuman mulai dari sanksi pidana 3-4 tahun hingga denda Rp 36-48 juta.
Politik uang dalam pemilihan umum selalu saja menjadi topik yang tidak ada habisnya. Dikalangan akademisi, pengamat politik, aktifis penggiat pemilu, penggiat anti korupsi, politik uang selalu menjadi pembahasan utama dan pembahasan yang menarik di berbagai kegiatan diskusi, seminar ataupun pendidikan dalam konteks pemilihan umum.
politik uang merupakan hal yang sudah mendasar dan mendarah daging di masyarakat. Karena sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam masyarakat, sehingga masyarakat berfikir tidak ada uang politik maka tidak ada suara yang akan mereka salurkan.
Ini tentunya sangat berbahaya dan memprihatinkan. Karena penentuan pilihan didasarkan pada pragmatisme politik atau seberapa banyak uang yang diberikan calon anggota legislatif kepada para pemilih.
Padahal, kedudukan anggota legislatif dinilai terhormat oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat. Dengan mengemban peran sebagai wakil rakyat, anggota legislatif memiliki otoritas yang signifikan dalam menentukan roda pembangunan.
Jika melihat peran dan kedudukannya, maka tidak sembarangan politisi yang layak duduk di posisi itu. Tentu, harus ada kriteria tepat yang diberlakukan oleh negara dan partai politik dalam meloloskan politisi menjadi calon anggota legislatif.
Ada empat pertimbangan yang harus dipahami untuk dijadikan standar pengusungan calon anggota legislatif.
Pertama, yakni kapasitas, anggota legislatif harus memiliki kapasitas, wawasan luas, dan kemampuan kepemimpinan yang mumpuni. Anggota legislatif wajib memahami permasalahan yang terjadi di negerinya. Sebab, pemahaman itu yang akan menjadi landasan dari cita-citanya dalam memperjuangkan masyarakat.
Kedua, moralitas. Ihsanudin, yang dikenal sebagai ‘dewan pro rakyat’ ini beralasan, bahwa moralitas merupakan harga mati bagi seorang anggota legislatif.
Untuk saat ini, pihaknya berharap tidak ada lagi tragedi moral yang melibatkan anggota legislatif. Sudah banyak perkara hukum yang dikarenakan lemahnya moral anggota legislatif, dan itu harus menjadi pelajaran penting bagi anggota legislatif, calon anggota legislatif dan pemimpin politik lainnya.
Ketiga, kemampuan finansial. Kebutuhan biaya menjadi konsekuensi logis bagi calon anggota legislatif. Biaya yang dimaksud bukan untuk menyuap masyarakat, namun untuk akomodasi kegiatan kampanye dan sosialisasi.
Caleg wajib turun ke masyarakat untuk menyampaikan misi dan visinya menjadi wakil rakyat, baik di DPRD, DPR RI, atau DPD.
Terakhir, popularitas. Masyarakat jangan sampai membeli kucing di dalam karung. Sosok caleg harus tampil dan diketahui, setidaknya oleh calon konstituennya.
Menjadi sangat ideal ketika masyarakat dan wakilnya saling mengenal. Tujuannya, agar masyarakat memahami calon wakilnya yang hendak dipilih dalam pesta demokrasi Pemilu.
Keempat kriteria tersebut, wajib melekat pada caleg dan dipahami juga oleh masyarakatnya.
Politik uang bukan merupakan nilai-nilai atau norma adat yang diajarkan oleh leluhur kita. Namun politik uang seperti sudah menjadi tradisi terutama bagi kelompok elit.
Jika dillihat dari sejarah, sebenarnya politik uang sudah ada dari zaman kolonialisme. Para penjajah menyuap pejabat pribumi guna memperoleh apa yang dikehendakinya. Kebiasaan buruk tersebut ternyata berlangsung hiingga saat ini dan diaplikasikan dalam konteks pemilihan umum.
Hal ini juga disebabkan, haus kekuasaan. Semua orang memiliki sifat ingin menjadi yang tertinggi, dan ingin menjadi pemimpin. Bisa dikatakan manusia haus akan jabatan. Demi mendapatkan jabatan yang diinginkan setiap orang rela menumpuh jalan dengan melakukan politik uang.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya politik uang.
1. Hukum Yang Bisa Ditukar Uang.
Hukum di Indonesia merupakan hukum yang bisa dibeli dengan uang. Bukan karna hukumnya yang salah namun karena pemangku jabatan dalam penegakan hukum yang membuat hukum tidak bisa memberikan efek jera bagi para penyuap.
Dengan iming-iming harta benda atau uang dari para pelaku maka hukuman yang diberikan dapat dipersingkat.
2. Kebutuhan Ekonomi.
Kemiskinan menjadi faktor utama dalam politik uang . kondisi kemiskinan memaksa seseorang untuk mendapatkan uang secara cepat. Politik uang menjadikan cara masyarakat untuk berebut uang. Meraka tidak mempedulikan kosekuensi yang akan diterima jika mereka menerima suap suara.
3. Rendahnya Pengetahuan Masyarakat
Tidak semua orang tahu bentuk dari politik dan dampak dari politik. Ini dikarenakan kuurangnya informasi pendidikan politik yang diperoleh atau masyarakat sendiri yang memang acuh dan tidak mau tahu. Sehingga pada saat adanya pesta demokrasi masyarakat seakan acuh terhadap hal tersebut.
Ada berbagai dampak yang ditimbulkan dari adanya politik uang, yatiu menghilangkan gelar pemilih yang cerdas dan berkualitas bagi para pemilih, merusak tatanan demokrasi, menurunkan harkat martabat manusia. Karena bisa dibilang politik uang bentuk pembodohan rakyat.
Lalu yang menjadi pertanyan bagaimana cara menghentikan politik uang dalam pemilu ?
Dengan menggunakan uang sebagai kekuatan politik sampai pada saat ini belum bisa di hentikan. Belum ada cara yang efektif untuk menjera para pelaku penindak politik uang yang dilakukan baik secara terang-terangan maupun secara terselubung.
Namun kita sebagai masyarakat harus bisa memantau, mencegah dan melaporkan terjadinya politik uang. kita diharapkan Jangan mudah tergiur. siapa yang tidak mau diberi uang dengan syarat hanya mencoblos ?
Namun kita harus bisa menahan agar tidak mudah tergiur dengan suap. Kita bayangkan saja dengan uang yang tidak seberapa nantinya nasib kita ditentukan untuk lima tahun kedepan. Jika kita memilih hanya karna uang dan ternyata kita sudah salah memilih pemimpin.