“Syahrul Yasin Limpo memeras dan diperas, imbas uang panas hasil pemerasan ini juga berujung dengan kasus saling peras”
Usai KPK menetapkan eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai tersangka kasus pemerasan di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan), terjawab sudah status yang dilekatkan kepada politikus Partai NasDem ini.
Sebelumnya, pemberitaan bahwa Syahrul Yasin Limpo menjadi korban pemerasan pimpinan KPK begitu instens muncul di berbagai media massa. Bahkan, potret pertemuan Syahrul dengan pimpinan KPK Firli Bahuri sempat viral.
Syahrul Yasin Limpo Memeras dan Diperas
Syahrul diduga menggunakan uang korupsi hasil memeras bawahannya di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk membayar cicilan pembelian mobil mewah Alphard dan kartu kredit.
Terkait hal ini, Syahrul telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pemerasan dalam jabatan dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perkara itu juga menyeret dua anak buahnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan Kasdi Subagyono (KS) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta (MH) sebagai tersangka.
“Penggunaan uang oleh Syahrul yang juga diketahui Kasdi dan Hatta antara lain untuk pembayaran cicilan kartu kredit dan cicilan pembelian Alphard milik Syahrul,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Uang yang digunakan untuk cicilan tersebut, dikumpulkan oleh Kasdi dan Hatta dari para pegawai negeri sipil (PNS) eselon I dan II di lingkungan Kementan.
Mereka diduga mengutip setoran itu secara paksa dari para pejabat Kementan. Mereka antara lain, Direktur jenderal, Kepala Badan hingga Sekretaris di masing-masing eselon I.
“Dengan besaran nilai yang telah ditentukan Syahrul dengan kisaran besaran mulai 4.000 dollar Amerika Serikat (AS) sampai dengan 10.00 dollar AS,” ujar Tanak.
Tanak mengatakan, uang panas itu diduga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi Syahrul dan keluarganya.
Menurut Tanak, jumlah keseluruhan uang panas yang dinikmati Syahrul, Kasdi, dan Hatta sekitar Rp 13,9 miliar.
“Penelusuran lebih mendalam masih terus dilakukan tim penyidik,” kata Tanak.
Karena perbuatannya, mereka disangka melanggar Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ternyata Syahrul Yasin Limpo tidak hanya memeras, pria asal Makassar ini juga diduga diperas oleh pimpinan KPK.
Imbas uang panas hasil memeras ini pun membuat beberapa media langsung mengupas secara tuntas, agar masyarakat mengetahui secara terang benderang terkait kasus saling peras ini.
Kasus pemerasan Syahrul Yasin Limpo oleh pimpinan KPK sudah naik ke penyidikan sejak Jumat (6/10). Namun hingga saat ini Polda Metro belum membeberkan sosok pimpinan KPK yang diduga memeras Syahrul.
Bukti-bukti terkait kasus itu mulai dikumpulkan penyidik.
“Jadi sebagaimana yang telah saya sampaikan di awal bahwa tindakan penyidikan yang nanti dilakukan oleh tim penyidik Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu akan membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangkanya,” ujar Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu (7/10).
Ade mengatakan salah satu hal yang juga akan didalami penyidik terkait foto pertemuan Ketua KPK Firli Bahuri dan SYL. Pertemuan keduanya akan diusut untuk memastikan ada-tidaknya dugaan pemerasan yang terjadi.
“Ini masuk dalam materi penyidikan yang akan kami gali dan akan kami cari buktinya untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi,” katanya.
Menurut Ade, foto pertemuan Firli dan Syahrul Yasin Limpo juga menjadi salah satu hal yang direkomendasikan penyidik dalam gelar perkara. Polda Metro nantinya akan mengacu pada Pasal 65 juncto Pasal 36 UU KPK terkait larangan insan KPK bertemu dengan pihak yang beperkara.
“Terkait adanya larangan untuk berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pihak tersangka atau pihak lain yang terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK dengan alasan apapun,” kata Ade Safri membacakan isi pasal tersebut.
Dalam kasus ini, diduga terjadi pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 12e atau Pasal 12B atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.