Teater Koma menggelar pementasan terbarunya berjudul Matahari Papua yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat hingga 9 Juni 2024 yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation.
Produksi ke-230 Teater Koma jadi sajian istimewa bagi grup teater tertua di Indonesia yang tahun ini menginjak usia ke-47 nih, pasalnya ini merupakan Naskah terakhir yang di tulis oleh Nano Riantiarno.
“Kami kembali ke Graha Bhakti Budaya, pementasan kedua kami di sini setelah gedung direnovasi. Naskah istimewa, naskah terakhir yang ditulis Nano Riantiarno,” ucap Ratna sebelum Preview “Matahari Papua” khusus buat awak media dan undangan di Bhakti Budaya TIM, Kamis (6/6/2024) malam.
“Selama 47 tahun, Teater Koma telah konsisten menghibur dan memperkaya wawasan para penikmat seni dengan beragam kisah yang sarat pesan moral dan nilai-nilai positif. “Matahari Papua” ini memiliki makna yang sangat mendalam, karena merupakan karya terakhir dari Bapak N. Riantiarno, sang pendiri Teater Koma.”ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
“Selama hidupnya, beliau telah memberikan kontribusi luar biasa bagi dunia teater Indonesia dengan cerita-cerita yang menyentuh hati dan penuh makna. Karya terakhir ini adalah bentuk dedikasi dan cinta beliau yang tulus terhadap seni pertunjukan. Semoga warisan beliau terus menginspirasi dan menyemangati generasi penerus dalam merayakan dan menghargai kekayaan seni budaya kita,”tambahnya.
Matahari Papua berdurasi sekitar 2 jam lebih menceritakan penindasan di pedalaman Kamoro, Papua oleh sang Naga yang berkuasa.
Pada suatu masa di pedalaman Kamoro, Papua, saat naik perahu melintasi sungai untuk mencari sagu, empat pria dari desa Kamoro tewas ditenggelamkan NAGA. Hanya satu wanita, YAKOMINA, yang bisa lolos. Dia tengah mengandung, ditolong oleh seorang Dukun, KORERI. Tak lama, dia melahirkan seorang putra, BIWAR.
Tak terasa, 25 tahun telah berlalu. Biwar tumbuh menjadi pria yang hebat. Satu hari, saat sedang menyusuri sungai untuk mencari ikan, Biwar me nolong seorang gadis, NADIVA, yang hendak di- makan TIGA BIAWAK. Biwar dengan mudah mengalahkan monster-monster itu. Tiga Biawak lari.
Keduanya berkenalan, dan saling jatuh cinta. Keduanya berjanji untuk bertemu lagi. Berdasarkan keterangan Dukun, Tiga Biawak tersebut adalah anak buah Naga, masih ada BUAYA dan BURUNG HITAM. Kini, setelah mendengar tragedi kematian ayah dan tiga pamannya dari Mama Yakomina, tekad Biwar bulat, dia harus membunuh Naga, yang juga makin ganas merampas kekayaan alam Papua. Apakah Biwar mampu mengalahkan Naga?
Ini lakon Teater Koma, kisah nyanyian dan tarian kawasan timur, Papua. Kisah yang mengharukan. Kisah kemerdekaan dan kebebasan. Lakon hilangnya Sang Naga
“Cerita penindasan ini di mana-mana akan selalu terjadi, selama masih ada pihak-pihak yang berkuasa dan haus akan kekuasaan, maka dia akan menjadi Naga,”kata sutradara Matahari Papua, Rangga Riantiarno.
Pertunjukan teater yang digelar oleh Teater Koma dan Bhakti Budaya Djarum Fundantion ini dari segi artistik panggung, lighting, screen sampai dengan kostum para pemerannya terasa detail dan sangat bagus dinikmati mata penonton. Dengan settingan scene demi scene dengan penataan cahayaan dan dukungan property dan kostum mata kita di manjakan oleh pertunjukan ini, sehingga penonton terbius atas epiknya pertunjukkan ini.
Banyak pesan yang disampaikan dan bisa diambil penonton dalam pertunjukan ini. Pentas “Matahari Papua” ini menampilkan Tuti Hartati, Lutfi Ardiansyah, Joind Bayuwinanda, Netta Kusumah Dewi, Daisy Lantang, Bayu Dharmawan Saleh, Sir Ilham Jambak, Sri Qadariatin. Ada pula Zulfi Ramdoni, Angga Yasti, Rita Matumona, Dana Hassan, Adri Prasetyo, Andhini Puteri, Dodi Gustaman, Indrie Djati, Pandu Raka Pangestu, Hapsari Andira, Radhen Darwin, Edo Paha, dan masih banyak lagi aktor handal lainnya yang berlakon di gelaran teater Koma ini.
“Matahari Papua” Teaer Koma dipentaskan Jumat, 7 Juni 2024, pukul 19.30 WIB; Sabtu, 8 Juni 2024, pukul 13.00 dan 19.30 WIB; Minggu, 9 Juni 2024, pukul 13.00 WIB; di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.