Aliran uang hasil kejahatan selama gelaran pemilu telah merambah beberapa daerah pemilihan di Indonesia. Hal ini disampaikan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK menyebut ada tujuh provinsi yang paling berisiko terpapar uang hasil kejahatan selama penyelenggaraan pemilu. Gambaran risiko ini mengacu pada hasil riset PPATK terhadap rekening milik atau terkait peserta pemilu.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana awalnya menjelaskan bahwa riset tersebut dilakukan terhadap rekening peserta pemilu (pilpres dan pileg) serta pilkada sejak tahun 2013 sampai tahun 2019.
Artinya, hasil analisis ini terkait dengan peserta pilkada yang dilaksanakan dalam rentang tahun tersebut, peserta Pemilu 2014, dan peserta Pemilu 2019.
Berdasarkan riset tersebut, semua provinsi berisiko terjadi kasus mengalirnya uang hasil kejahatan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) kepada peserta pemilu untuk keperluan kampanye.
Provinsi yang paling berisiko adalah DKI Jakarta dengan poin 8,95. Kemudian yang kedua diduduki Jawa Timur dengan rata-rata risiko 8,81, lalu Jawa Barat (7,63), dan Jawa Tengah (6,51). Selanjutnya Sulawesi Selatan (5,76), Sumatra Utara (5,67), dan Sumatra Barat (5,67).
“Ini artinya apa? Artinya memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik,” ujar Ivan dalam acara ‘Forum Diskusi Sentra Gakumdu-Wujudkan Pemilu Bersih’ yang digelar Kemenkopolhukam, Selasa (8/8/2023).
Ivan juga mengungkapkan nominal debit-kredit Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM) di rekening bank terkait peserta pemilu sejak 2013-2019.
Total nominalnya mencapai Rp 1.147 triliun. Nominal terbesar terdeteksi di DKI Jakarta senilai Rp 540 triliun lebih dan Jawa Timur senilai Rp 367 triliun lebih.
“Angkanya luar biasa besar, tapi tidak bisa dikatakan tindak pidana karena ini adalah potret mutasi rekening-rekening yang kita indikasikan terkait kontestasi politik,” ujarnya.
Kata Ivan, untuk menyatakan uang yang mengalir tersebut merupakan bagian dari tindak pidana dan penerimanya diproses hukum, maka hasil riset tersebut harus ditindaklanjuti terlebih dahulu oleh aparat penegak hukum.