Iklan
Iklan

Wajah Demokrasi Tanah Air Tercoreng, Ketua KPU Kembali Langgar Kode Etik

- Advertisement -

Wajah demokrasi tanah air tercoreng gara-gara Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari kembali terbukti melanggar kode etik.

Prilaku Hasyim Asy’ari yang telah mencoreng wajah demokrasi tanah air inipun mendapatkan sanksi peringatan keras terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Namun DKPP dianggap kurang tegas.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnerhsip (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, menyayangkan putusan DKPP terhadap Hasyim yang dinilai kurang mencerminkan keadilan, meskipun putusan itu tidak berimplikasi pada pencalonan Gibran sebagai cawapres.

“Harusnya DKPP berani memutuskan untuk memberhentikan ketua KPU atau setidaknya dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua. Sebab, pelanggaran etik ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh ketua KPU,” ujar Neni, Selasa (6/2/2024).

Menurut Neni, Hasyim terbukti melakukan pelanggaran berulang dianggap sama saja mencederai citra penyelenggara, proses Pemilu, dan merusak demokrasi.

“Jika penyelenggara Pemilu terus menerus melanggar etik maka sangat dikhawatirkan terjadi distrust dari masyarakat kepada penyelenggara dan mendelegitimasi proses pemilu yang sedang berjalan,” ujar Neni.

Sebelumnya, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari, karena terbukti melanggar kode etik terkait proses pendaftaran capres-cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan syarat batas usia peserta Pilpres.

“Hasyim Asy’ari sebagai teradu 1 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu,” kata Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan sidang di Jakarta, Senin (5/2/2024).

“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari selaku teradu 1,” imbuhnya.

Heddy menyatakan, Hasyim terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam 4 perkara, masing-masing dengan nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023.

DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada 6 Komisioner KPU yakni August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holid.

Mereka dinyatakan melanggar kode etik dan perilaku dalam perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023.

Menurut pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU melakukan pelanggaran kode etik karena tidak segera berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah buat mengubah Peraturan KPU (PKPU) usai putusan MK diberlakukan.

Padahal akibat putusan MK itu berdampak terhadap syarat calon peserta pemilihan presiden sehingga KPU seharusnya segera mengubah Peraturan KPU (PKPU) sebagai pedoman teknis pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024.

“Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK diucapkan,” ujar Wiarsa dalam sidang.

Menurut Wiarsa, dalam persidangan para teradu berdalih baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023 karena DPR sedang dalam masa reses.

Akan tetapi, kata Wiarsa, alasan dari KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah usai putusan MK tidak tepat.

“DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” ujar Wiarsa.

Selain itu, kata Wiarsa, DKPP menyatakan sikap para komisioner KPU dengan terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik usai putusan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres ketimbang melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah juga menyimpang dari PKPU.

“Para teradu dalam menaati putusan Mahkamah Konstitusi a quo dengan bersurat terlebih dulu kepada pimpinan partai politik adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan perintah pasal 10 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di lingkungan KPU,” ucap Wiarsa.

Wiarsa dalam pertimbangan putusan menyatakan, tindakan ketua dan komisioner KPU yang tidak segera melakukan konsultasi kepada DPR dan Pemerintah untuk melakukan perubahan PKPU nomor 19 tahun 2023 tentang pencalonan peserta Pemilu dan capres-cawapres adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

“Para teradu seharusnya responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024,” papar Wiarsa.

“Terlebih Peraturan KPU sebagai peraturan teknis sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman cara bekerjanya KPU dalam melakukan tindakan penerimaan pendaftaran bakal calon presiden-calon wakil presiden pasca putusan Mahkamah Konstitusi a quo,” imbuh Wiarsa.

Trending Topic

Subscribe
Notify of

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Iklan

Iklan

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA