Ada 3 jenis konten negatif di media sosial yang beresiko terjerat Undang-Undang Informasi dan Teknologi atau UU ITE. Hal ini penting untuk diketahui bagi pengguna media sosial agar tidak terjebak dalam persoalan hukum.
Konten negatif yang menyebar luas di media sosial sangat berdampak bagi pengguna yang tidak memahami persoalan hukum.
Memang, media sosial itu tidak hanya sekedar menghubungkan orang di dunia digital tetapi juga menjadi medium dalam menyebarkan informasi. Sementara itu, penting bagi pengguna media sosial untuk berpikir kritis dan menyaring informasi yang ada di internet.
Berdasarkan Undang-undang Informasi dan Teknologi atau UU ITE, konten negatif yang tidak boleh dibagikan di ruang digital yakni konten yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong atau hoaks, dan penyebaran kebencian.
Anggota Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Bali – Heka Rahma Yusianti mengungkapkan, ada tiga contoh konten yang melanggar, yang sering ditemui di media sosial yakni cyberbullying, ujaran kebencian atau hate speech, dan penyebaran hoaks.
Cyberbullying merupakan tindakan agresif dengan tujuan menakut-menakuti dari seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang lebih lemah (secara fisik maupun mental).
Tindakan cyberbullying termasuk juga mengintai atau memata-mematai korban, menyinggung fisik maupun menyebarkan data pribadi seseorang tanpa izin.
“Cyberbullying memunculkan rasa takut si korban, bahkan dapat terjadi kekerasan fisik di dunia nyata,” ungkap Heka Rahma.
Agar terhindar dari cyberbullying di antaranya adalah dengan mencintai diri sendiri, mengabaikan konten negatif, serta membatasi penggunaan gadget.
Korban cyberbullying juga perlu menyimpan bukti jika terjadi cyberbullying, blokir akun pelaku dan ceritakan kepada orang terdekat untuk memproteksi diri dari perundungan online tersebut.
Sementara penyebaran hoaks adalah penyebaran informasi yang salah tapi seolah dianggap benar dengan tujuan menakut-nakuti, mencari keuntungan, kepentingan politik hingga menjadikan fakta tidak dipercaya.
“Hoaks itu biasanya ada kata-kata sebarkan viralkan yang bisa menyerang seseorang kemudian penting untuk cermati sumber berita, cek faktanya,” ujar Heka Rahma.
Terakhir hate speech atau ujaran kebencian yakni ungkapan atau ekspreksi kebencian terhadap seseorang dengan tujuan permusuhan termasuk memgunggah fakta-fakta informasi yang bersifat memojokkan seseorang.
“Dibuat beritanya seakan-akan berita valid padahal untuk menghancurkan suatu pihak dan menerusakan konten ini ke banyak orang sehingga viral dan dibicarakan di dunia nyata,” pungkasnya.