Bakal calon presiden Prabowo Subianto belum menentukan pendampingnya untuk Pilpres 2024. Di antara nama yang beredar adalah Muhaimin Iskandar, Erick Thohir, hingga Airlangga Hartarto.
Muncul nama lain dalam bursa cawapres Prabowo Subianto, yaitu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming. Mungkinkah?
“Kita hormati setiap usulan warga bangsa. Siapa pun mau diusulkan ya itu sudah pendapat warga. Semua orang yang usulkan punya latar belakang pendapat,” ucap Anggota Dewan Pembina Gerindra, Ahmad Riza Patria, usai deklarasi relawan Pasukan 08, di Jaksel, Senin (8/5).
Eks Wagub DKI itu mengatakan Prabowo terbuka dengan berbagai usulan nama untuk cawapres. Nanti, Prabowo bersama partai koalisi yang akan menetapkan.
“Beliau (Prabowo) hormati siapa saja. Usulan boleh, enggak masalah, semakin banyak usulan semakin baik. Masyarakat dan relawan jadi yang menilai siapa yang terbaik jadi cawapres Prabowo,” tuturnya.
Tak Penuhi Syarat Usia
Presiden Jokowi sudah menyebut Gibran tidak memenuhi syarat sebagai cawapres di Pilpres 2024, karena syarat usia dalam UU Pemilu minimal 40 tahun. Gibran juga baru 2 tahun jadi wali kota.
“Pertama umur. Kedua, baru dua tahun jadi wali kota,” ucap Jokowi di Sarinah, Jakarta, Kamis (4/5).
Dalam UU Pemilu Pasal 169 huruf q mengatur capres dan cawapres berusia minimal 40 tahun.
“berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”
– Pasal 169 huruf q UU Pemilu
Meski begitu, syarat usia tersebut saat ini sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebagai salah satu peserta Pemilu di 2024.
Melalui Francine Widjojo selaku kuasa hukum, para Pemohon menyatakan batas minimal syarat umur untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden pada norma tersebut dinyatakan jelas yakni 40 tahun.
Mereka berharap setidak-tidaknya batas usia minimal usia calon presiden dan wakil presiden dapat diatur 35 tahun. Asumsinya pemimpin-pemimpin muda tersebut telah memiliki bekal pengalaman untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Sehingga norma soal batas minimal usia 40 tahun menurut para Pemohon bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas karena menimbulkan bibit-bibit diskriminasi sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Padahal pada prinsipnya, negara memberikan kesempatan bagi putra putri bangsa untuk memimpin bangsa dan membuka seluas-luasnya agar calon terbaik bangsa dapat mencalonkan diri. Oleh karenanya objek permohonan adalah ketentuan yang diskriminatif karena melanggar moralitas. Ketika rakyat Indonesia dipaksa hanya memilih pemimpin yang sudah bisa memenuhi syarat diskriminatif, tentu ini menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat Indonesia yang memilih maupun orang yang dipilih,” papar Francine sebagaimana dikutip dari situs MK, Jumat (5/5).