Dua orang pria berinisial DI dan SB, menganiaya anak pimpinan ponpes berinisial AZ (21) di Stasiun Duri. Belakangan diketahui bahwa kedua pelaku merupakan satpam KAI.
“Betul, satpam KAI,” terang Kapolsek Tambora, Kompol Putra Pratama, saat dikonfirmasi kumparan, Rabu (9/11).
Putra mengatakan, keduanya adalah satpam KAI yang bertugas di Stasiun Duri. Dirinya juga mengungkap bahwa korban merupakan seorang difabel atau berkebutuhan khusus.
“Iya (korban) down syndrome dia,” kata Putra, dikutip dari kumparan.
Berdasarkan keterangan dari kedua pelaku, korban memang sering berkeliaran di sekitar stasiun lantaran rumahnya yang tak jauh dari sana. Pada saat kejadian yakni Jumat (4/11), korban dilihat kedua pelaku sedang membakar sampah di dekat stasiun.
“Jadi si korban ini, dia membakar sampah dekat rel di samping Stasiun Duri di tengah malam jam sekitar tengah malam lah 00.00 WIB. Kemudian diamankan oleh sekuriti karena memang tindakan bahkan sampai itu kan berbahaya, berpotensi kebakaran stasiun,” kata Putra menjelaskan alasan penganiayaan terhadap korban.
Dianggap bersalah, AZ ditangkap kemudian diborgol dengan dikaitkan ke kursi oleh kedua oknum satpam KAI tersebut.
Tak hanya sampai di situ, saat diinterogasi korban pun dipukul menggunakan selang air dan sarung samurai di bagian punggung, lengan dan paha kanan. Rambut AZ juga dicukur menggunakan alat cukur listrik hingga botak.
Putra mengatakan jika kedua satpam tersebut mengaku tidak mengetahui jika korban ternyata penyandang disabilitas.
“Sekuriti karena enggak tahu, karena dalam keterangan BAP mereka kesal sama anak itu enggak ngaku dan keterangannya berubah-ubah. Itulah kenapa dipukul, kemungkinan mereka enggak tahu kalau anak ini down syndrome,” jelas Putra.
Ia juga menyayangkan sikap kedua sekuriti tersebut yang terkesan main hakim sendiri alih-alih melakukan pembinaan terlebih dahulu dengan RT/RW setempat.
“Betul (harusnya pembinaan dulu), korban ini kan disabilitas. Dia anak kiai dan punya riwayat down syndrome juga,” ungkapnya.
Korban Trauma
Putra mengatakan korban saat ini masih trauma atas kejadian yang dialaminya.
“Kemarin saya datang ke sana, kalau menurut abangnya agak trauma kelihatan dari matanya. Kalau menurut abangnya ada trauma pada diri anak itu terlihat dari matanya. Itu keterangan dari abangnya cuma kan kita menentukan trauma atau enggak harus cek psikolog,” kata Putra.
Meski begitu, Putra berujar bahwa polisi siap memfasilitasi keduanya jika perkara ini hendak diselesaikan dengan restorative justice (RJ)
“Sudah berkoordinasi kita membuka kapan pun RJ, cuma dalam RJ korban punya wewenang yang besar untuk menentukan. Jadi kita arahkan dari pihak PT KAI melakukan mediasi dengan korban dan orangtuanya dengan pihak pesantren,” pungkasnya.