Masyarakat Indonesia tidak suka dengan tindakan pungutan liar (pungli) aparat. Berangkat dari itu, sejumlah elemen masyarakat memberanikan diri untuk merekam tindakan tersebut. Alih-alih pujian, mereka malah diancam dan berujung dipenjara. Salah satu korbannya adalah Benni Eduward Hasibuan.
Bang Benni adalah aktivis anti-pungli asal Medan yang dikriminalisasi dan dipenjara karena merekam tindakan pungli polisi. Awal mula ia menjadi aktivis anti-pungli hingga diperas dan dipukuli dalam penjara ditumpahkan semuanya di Mata Najwa.
Bang Benni awal mulanya adalah korban pungli dalam perjalanan menuju Pekanbaru. Sebagai warga yang baik, ia pun mengirimkan pengaduan online, tapi tidak digubris. Geram dengan permasalahan ini, Bang Benni memulai aktivisme akar rumput dan mengekspos lokasi-lokasi yang menjadi titik pungutan liar.
Dalam salah satu rekaman, Bang Benni menyatroni aparat polisi yang sedang merazia kendaraan bermotor secara ilegal. Di rekaman lain, ia memergoki aparat Dinas Perhubungan yang sedang merazia kendaraan tanpa pengawalan polisi – hal yang tidak dibenarkan menurut peraturan. Bang Benni sering mendapat intimidasi, dibentak, bahkan disandera oknum aparat. Pernah juga dipukuli di tempat umum di Jakarta.
“Ketika saya di Jakarta, ketika saya di Kelapa Gading kalau tidak salah, di situ saya malah sempat dipukul dua oknum anggota,” ungkapnya ke Najwa Shihab. Hadiah bogem mentah tersebut didapatkan setelah Bang Benni merekam aktivitas pungli oknum Sabhara di tengah jalan. Padahal merekam aktivitas pungli di tempat publik bukanlah tindakan yang dilarang.
Namun Bang Benni tidak gentar. Menurutnya, aparat pemerintah seharusnya memberikan rasa aman, bukannya meminta-minta uang. “Saya ingin ini ada perubahan karena seharusnya sebagai masyarakat atau pengendara ketika di jalan bertemu dengan aparat seharusnya merasa nyaman, tapi justru yang terjadi sebaliknya…” aku Bang Benni.
KRITIK BERUJUNG BUI: DIJERAT UU ITE KARENA TERLALU SERING VIRALKAN PUNGLI
Aksi-aksi membongkar praktik korupsi itu pun harus dibayar mahal. Banyak oknum aparat yang gerah karena ulahnya. Pada tanggal 18 Agustus 2020, video edukasi Bang Benni yang mengkritik 10 mobil di wilayah kepolisian berbalik menjadi bumerang yang menghantamnya. Kesepuluh mobil tersebut diduga memiliki masalah pajak kendaraan berdasarkan USSD *368*117# dan situs daring e-Samsat.
Tanpa proses pemanggilan, tanpa pemberitahuan kepada pihak keluarga, Bang Benni dan rekannya Joniar M. Nainggolan langsung diciduk ke penjara Polrestabes Medan. Mereka dituduh melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Beberapa keanehan terkait proses hukum Bang Benni:
Sampai hari ini pengembang, penanggung jawab, dan orang-orang yang berada di balik aplikasi e-Samsat tidak pernah muncul ke permukaan. Mereka juga tidak pernah dipanggil sebagai saksi di tingkat penyidikan maupun persidangan. Anehnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) tidak pernah mempertanyakan hal ini;
Oknum polisi meminta Bang Benni untuk menghapus video barang bukti melalui penasihat hukum (PH). Satu-satunya alasan polisi menyita telepon genggam dan laptop tersangka kasus UU ITE adalah untuk mengamankan barang bukti, tapi mengapa ini malah kebalikannya?
Video Bang Benni yang berisi tampilan layar e-Samsat tidak pernah diputar di persidangan.
Sedikit koreksi: Mata Najwa menayangkan potongan video Honda HR-V kuning dengan plat nomor BK 81 P. Seharusnya Honda Jazz hitam dengan plat nomor BK 1212 JG karena kendaraan tersebut yang dijadikan kambing hitam dalam kasus ini.
ANCAMAN PEMBUNUHAN SAAT BAP
Pada saat penyidikan, Bang Benni dipaksa menandatangani BAP yang berisi pengakuan-pengakuan palsu, seperti:
Menuduh kendaraan BK 1212 JG bodong. Padahal Bang Benni hanya membacakan data dan menunjukan tampilan layar e-Samsat BK 1212 JG. Yang mengatakan “nunggak pajak” adalah Bang Joniar dalam pengertian “belum membayar pajak”. Baik Bang Benni maupun Bang Joniar tidak pernah mengatakan kendaraan BK 1212 JG adalah kendaraan bodong;
Tidak melakukan konfirmasi ke pihak manapun. Padahal bukti konfirmasi dan izin untuk meng-upload video bisa dilihat di sini dan di sini.
Oknum-oknum polisi mengancam akan menghabisi Bang Benni jika ia menolak menandatangani BAP palsu tersebut. Beberapa nama pelaku pengancaman tersebut adalah:
Aiptu Johansen Ginting alias Aiptu Johanes Ginting, pelapor;
Perwira Ipda Nanang Kusumo, Kanit I STNK Ditlantas Polda Sumut;
AKBP Sonny Siregar alias Sonny Wilfrid Siregar, Kasat Lantas Polrestabes Medan.
Mirisnya, mereka bukan penyidik tetapi masuk ke ruang penyidik untuk mengancam Bang Benni. Sementara penyidik yang asli malah melakukan pembiaran. Akibat perbuatan oknum-oknum tersebut, Bang Benni terpaksa menandatangani BAP yang sudah direkayasa.
HOAX YANG SEMPURNA
Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo mengatakan pelapor UU ITE tidak dapat diwakilkan. Namun tampaknya statement Kapolri tersebut tidak berlaku bagi oknum kepolisian Medan, karena pelapor dalam kasus ini adalah ayah si pemilik mobil BK 1212 JG. Pemilik asli kendaraan BK 1212 JG adalah Jody Anggara Ginting dan ia masih menghilang sampai hari ini.
Pelapor Aiptu Johansen Ginting mengatakan Bang Benni melakukan sidak pada pukul 16.00 WIB. Pada saat yang sama, BAP saksi-saksi dari pihak pelapor juga mengatakan Bang Benni melakukan sidak pukul empat sore.
Padahal jelas Bang Benni melakukan sidak dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 08.00 WIB karena ia harus masuk kerja di PT. Suntory Garuda Beverage. Tentu hal ini dapat dibuktikan dan dikonfirmasi berdasarkan:
Waktu live streaming Bang Joniar dan ribuan saksi mata;
Daftar absen, CCTV, kesaksian petugas-petugas dan masyarakat di kantor Samsat Putri Hijau Medan;
Daftar absen, CCTV, dan kesaksian pegawai-pegawai di tempat Bang Benni bekerja;
Mengapa mereka berusaha merekayasa waktu sidak? Jawabnya untuk menyembunyikan fakta bhwa pajak kendaraan dibayarkan satu jam setelah sidak. Berdasarkan data pembayaran pajak “Berita Acara Klarifikasi Pembayaran Pajak” PT. Bank Sumut, pajak kendaraan BK 1212 JG baru dibayar pukul 09.08 WIB.
Seharusnya Aiptu Johansen Ginting berterima kasih kepada Bang Benni karena diingatkan untuk membayar pajak. Terlebih anaknya, Jody Anggara Ginting telah tiga tahun berturut-turut menunggak membayar pajak sejak mobil tersebut dibeli pada tahun 2017.
Ironisnya oknum kepolisian Medan malah melakukan pembohongan publik dengan mengatakan pemilik kendaraan BK 1212 JG taat pajak. Berita hoax pun disebarluaskan secara sistematis, terstruktur, dan masif di media massa. Memang betul apa yang dikatakan Rocky Gerung, bahwa pembuat hoax terbaik adalah penguasa karena mereka punya segalanya.
“Pembuat hoax terbaik adalah penguasa, karena mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen dia punya, data statistik dia punya, media dia punya. Orang marah, tapi ya itulah faktanya.”
SUDAH DIANCAM DIKRIMINALISASI UU ITE SEJAK TAHUN 2018
Dalam acara Mata Najwa, Bang Benni secara blak-blakan membeberkan bahwa dirinya mengalami pengancaman UU ITE oleh oknum aparat kepolisian sejak tahun 2018. “Ini bukan kali pertama saya diancam dengan UU ITE dengan pencemaran nama baik. Awalnya itu terjadi ketika saya mengungkap pungli di Taman Makam Pahlawan Palembang,” ungkap Bang Benni.
“Oknum salah satu admin di akun lantas Palembang menyebar berita bohong terkait hasil sidang disiplin oknum anggota yang ketika itu terduga melakukan pungli. Di situ saya disebutkan akan dilaporkan balik karena melakukan pencemaran nama baik institusi.”
Skema uji coba project kriminalisasi dengan UU ITE skala kecil/awal tersebut akhirnya berhasil dirampungkan tahun 2020.
DIPERAS DAN DISIKSA ATAS ARAHAN OKNUM POLISI
“Saya dipenjara pun tidak gratis. Untuk tidur pun saya harus bayar. Dimintain uang kebersamaan segala macem hampir 12 juta,” ungkap Bang Benni.
Selain itu, Bang Benni selalu disiksa dan dipukuli hingga luka. “Saya juga disiksa karena ketika saya tidak bisa atau keluarga saya tidak bisa menyediakan uang seperti yang diminta, maka langsung saya dipukuli sampe sempet mengalami beberapa luka,” ucap Bang Benni.
Lebih lanjut, berdasarkan kesaksian penjaga lapas, oknum polisi sendiri yang menitipkan pesan ke napi-napi lain untuk menyiksa Bang Benni, sehingga Bang Benni tak bisa melapor pada siapa pun dan aksi penghuni lain sel semakin brutal.
“Jadi saya diminta jangan dikasih enak, disuruh disiksa, lalu disuruh tidur di WC. Sehingga akhirnya karena perintah ini datang dari oknum itu, akhirnya napi yang di sana justru dengan gampangnya melakukan siksaan itu karena tidak takut. Saya tidak bisa lapor ke mana-mana karena sudah dititipi pesan seperti itu,” ungkapnya di Mata Najwa.
Bang Benni semakin kecewa karena meski terluka, keluarga maupun PH malah dilarang untuk menemuinya. Komnas HAM yang ingin menjenguk juga tidak diizinkan masuk.
“Sayangnya ketika saya berharap PH datang untuk melakukan visum, justru keluarga dan PH tidak pernah diizinkan untuk menemui saya, termasuk Komnas HAM sendiri ketika Komnas HAM dari Jakarta datang menemui saya,” bebernya.
Pemenjaraan Bang Benni adalah tamparan keras terhadap sistem hukum negara kita. Seharusnya orang-orang seperti Bang Benni diperbanyak dan diberikan penghargaan karena berhasil menguak pelanggaran aparat. Namun, yang terjadi malah sebaliknya: ia malah dipenjara dan dipukuli. Kemanakah keadilan sosial yang sering digembar-gemborkan para buzzer rezim pemerintah?
MENGHIRUP UDARA BEBAS
Setelah delapan bulan dibui, akhirnya bulan April 2021 Bang Benni bebas. Vonis hukuman penjara diganjarkan Majelis Hakim Pengadilan Negri Medan pada tanggal 12 April 2021 lalu. Vonisnya sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni pidana delapan bulan penjara. Tiga hari sejak vonis tersebut, masa pidana Bang Benni dan Bang Joniar selesai. Mereka bebas.
KATA INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan, “Hampir di seluruh pelayanan publik terjadi seperti ini (pungli) dan itulah praktik korupsi yang paling dekat dengan masyarakat.”
Merujuk hasil survei Transparency International Indonesia, kantor polisi memang merupakan tempat pelayanan publik yang paling banyak terjadi praktik pungli. Aparat pemerintah yang seharusnya melayani, malah melakukan pungli. Lebih lanjut, peneliti di ICW tersebut mengatakan di lokasi pelayanan publik banyak ditemui banner atau poster “zona anti korupsi”, tapi data survei mengungkap banyak masyarakat masih menemui pungli yang dilakukan oleh oknum aparat pemerintah. Ia mengatakan di kepolisian sering terjadi praktik pungli, mulai dari pembuatan SIM, SKCK, hingga tilang.
“Yang harus dilihat lebih lanjut adalah oknum-oknum yang melakukan praktik pungli itu hanya karena kesempatan atau karena perintah,” tukas Mas Kurnia. “Tidak pernah ditelusuri siapa lumbung uang yang mengumpulkan pungli-pungli tersebut.”
Akhir kata, hal yang paling mencemaskan dari pungli adalah usaha mewajarkan hal ini. Saking terbiasanya, semua orang pada akhirnya memaklumi praktik pungli. Dari urusan genting hingga remah-remah tak penting, selalu ada pungli. Maka jangan heran jika korupsi luar biasa sulit diberantas, karena dari kepala hingga kaki penuh benalu yang sukar ditebas.
Namun masih ada harapan bagi kita. Kita masih bisa melawan normalisasi pungli. Salah satunya dengan menolak membayar pungli dan mendukung aktivis-aktivis anti pungli seperti Bang Benni. Kita harus saling dukung, saling jaga, dan jangan mau diadu domba, karena membongkar dan melawan ketidakadilan sistem membutuhkan pergerakan perjuangan bersama.
Kami sangat berterima kasih kepada Mata Najwa karena sudah menyoroti kasus Benni Eduward. Semoga nama baik Bang Benni bisa kembali dipulihkan dan oknum-oknum yang terlibat segera mendapat sanksi tegas. Polri harus bersih dan steril dari tangan-tangan nakal, sehingga kasus serupa tidak menimpa siapapun yang menyuarakan kebenaran di kemudian hari.
Panjang umur perjuangan!