Faisal Basri kembali melontarkan kritikan terhadap narasi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa hilirisasi nikel akan memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Bebeda dengan Jokowi, Faisal Basri menilai bahwa kebijakan hilirisasi nikel justru hanya menguntungkan China semata.
Ekonom senior ini menyebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, nilai ekspor besi dan baja yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi hanya sebesar US 27,8 miliar, atau setara Rp 413,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.876 per dolar AS pada 2022).
Namun, Faisal Basri mengakui bahwa adanya lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi nikel hingga mencapai 414 kali lipat. Kendati begitu, dianya meyakini bahwa semua uang tersebut tidak mengalir ke Indonesia, melainkan hampir 90% ke China.
Hal ini mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel di Indonesia saat ini 100% dimiliki oleh China. Apalagi, dengan adanya rezim devisa bebas yang dianut Indonesia saat ini, maka ada hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
“Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” ujar Faisal dalam unggahan di blog pribadinya faisalbasri.com, dikutip Minggu (13/8).
Faisal Basri mengatakan, Indonesia juga memberikan insentif tax holiday selama 20 tahun kepada perusahaan smelter. Oleh karena itu wajar apabila Indonesia tidak mendapat penerimaan daru laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel.
Tidak hanya itu, dirinya juga menyebut bahwa perusahaan smelter China tersebut juga tidak membayar royalti sama sekali.
“Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor,” ujarnya.
Namun, Faisal menegaskan bahwa dirinya mendukung penuh industrialisasi, namun menolak secara tegas kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuk yang berlaku saat ini.
“Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia,” jelas Faisal.
Ia juga menyoroti kebijakan hilirisasi nikel yang sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Sayangnya, peranan sektor industri manufaktur terus menurun, yakni dari 21,1% pada tahun 2014 menjadi hanya 18,3% pada tahun 2022 dan menjadi titik terendah sejak 33 tahun terakhir.