Ganjar dan Prabowo merupakan capres yang sering disorot oleh masyarakat sebagai dua figur pemimpin yang sunyi dari narasi pemecahan masalah ekonomi yang kompleks.
Meskipun Ganjar dan Prabowo memiliki pengalaman dan jaringan politik yang kuat, keduanya kerap terlihat kurang berani menyampaikan gagasan konkret mengenai isu-isu ekonomi seperti utang negara yang terus membengkak, tingginya angka kemiskinan, dan kenaikan harga pokok yang meresahkan masyarakat.
Hal itu disampaikan oleh pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat membeberkan alasannya mengapa narasi keberlanjutan dari Capres Ganjar dan Prabowo tidak menyajikan solusi berbeda atas persoalan ekonomi tersebut.
“Karena kedua kandidat tersebut terbelenggu oleh kebijakan-kebijakan lama yang sudah diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya, sehingga sulit bagi mereka untuk menciptakan solusi yang benar-benar inovatif dan berbeda,” ujar Achmad di Jakarta, Sabtu (5/8/2023).
Menurutnya, bisa jadi narasi keberlanjutan yang disampaikan oleh keduanya lebih fokus pada pemeliharaan status quo dan tidak memiliki visi yang jelas untuk mengatasi masalah ekonomi yang tengah dihadapi.
“Kecenderungan narasi keberlanjutan yang memiliki hasil yang sama dan tidak menuntaskan masalah dapat menjadi pemicu ketidakpuasan masyarakat terhadap kandidat Capres Ganjar dan Prabowo,” jelas Achmad yang juga sebagai CEO Narasi Institute.
Dia juga mengatakan, jika kedua calon tersebut hanya menawarkan solusi-solusi yang telah sering digunakan tanpa menghadirkan perspektif dan langkah-langkah baru, masyarakat merasa kecewa karena masalah ekonomi yang kompleks dan mendalam masih tetap belum terpecahkan.
“Hal ini bisa menyebabkan masyarakat merasa kurang tertarik dengan gagasan-gagasan yang diusung,” ujarnya.
Meskipun narasi keberlanjutan yang diusung oleh seorang Presiden dapat menciptakan citra kesinambungan dan stabilitas, hal ini tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden itu sendiri.
Tingkat kepuasan Presiden lebih banyak diukur melalui hasil survey yang seringkali dapat dipengaruhi oleh bias dari berbagai pihak. Para “buzzeers” atau influencer media sosial pun turut memberikan sorotan tentang potensi bias dalam proses pengumpulan data dan analisisnya.
Dalam konteks ini, narasi keberlanjutan yang dibangun oleh Presiden dapat mengalami manipulasi persepsi, baik dari pendukung yang berusaha memperkuat citra positif, maupun dari kritikus yang berupaya menciptakan narasi negatif.
“Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan dan kritis dalam mengevaluasi kepuasan terhadap Presiden agar dapat memahami dengan lebih objektif performa pemerintahan dan menghindari terjebak dalam perangkat narasi yang bias,” pungkasnya.